Friday, February 1, 2008

Politik dalam islam dan mempolitiki islam..

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu….” [QS An Nisa 4 : 60]

Politik dalam islam memang tidak dilarang bahkan terdapat tuntunan dimana rosulullah memiliki siasat atau politik dalam pengembangan islam, dalam peperangah jika kita di tanya tentang kekuatan atau strategi dalam berjuang atau berjihad dibolehkan untuk berbohong tatapi jika bohong itu di gunakan ketika berkampanye demi terwujudnya cita-cita partai politiki itu namanya mempolitiki hukum islam yang jelas akan tersesat karna Allah maha tau maksud dan tujuan kita yang murni karna Allah dan menegakkan kebernaran dan mencari ridho Allah atau terdorong hawa nafsu syaitoni dan membela diri dengan berdalih dan bersembunyi di balik ayat Allah untuk menutupi niat kotor dan ambisius kita yang hanya bertujuan sekedar materi atau jabatan.

Saya yakin seluruh negara didunia ini memerlukan politik dan para ahlinya, politik itu ibarat pagar yang menjaga tanaman yang sekaligus menjaga tanaman dari segala gangguan, pengayom yang menyayangi, tapi kalau ternyata sang pagar makan tanaman atau bahkan memberi racun kepada tanaman yang di jaga yang lebih parah mengundang pengganggu untuk mengacak negri ini itu bukan hanya tidak diinginkan tetapi sangat dicela dan dilaknat keberadaannya. Negri ini telah capek dengan semua kebohongan politik yang biadab dan kejam dan rindu akan pendekar politik yang takut kepada Allah, makanya partai yang berangkat membawa bendera agama cepat berkembang, tapi lagi-lagi rakyat kecil di pecundangi dan dikecewakan sehingga di buat sakit hati oleh mereka. Politik yang kejam..

Berpolitik dalam islam diperbolehkan namum mempolitiki islam apakah boleh juga yang cenderung mencari celah untuk mempermudah lagi hukum islam yang sebenarnya telah mudah dan cukup sempurna, ini tidak hanya terjadi di kalangan para politik praktis semata, tapi ini juga terjadi di kalangan para ilmuan penulis buku dan para intelektual yang di anggap sebagai "cendikiawan". Betapa hal itu terjadi pada para pemikir yang beralasan kebebasan berfikir dan berpendapat mereka mengkritik para ulama' terdahulu, bahkan pada titik keberanian yang sangat terlihat terbawa oleh emosi dan hawa nafsu syaitoninya mereka tak segan mengkritik Nabi Muhammad SAW sepeti Syahrur dan membangkang terhadap Al-Hadits yang disabdakan Beliau, maka tak ubahnya mereka itu seperti atau paling tidak mendekati para kafir laknat yang mengkritik tuhannya sendiri seperti yang terjadi di negara Amerika ataupun Eropa, dan al hasil bertebalanlah kaum ateis di sana, Tapi kaum ateis sendiri kebingungan setelah teori darwin dipatahkan oleh pakarnya sendiri yang mengakui adanya pencipta atau Tuhan, al-hasil teori-evolusi-buntu dan tokoh-ateis-dunia taubat.

Itulah akibat mendewakan akal atau mentuhankan akal sendiri, merasa dirinya cukup ampuh untuk mengkritik dengan ilmu dan pengetahuan yang seadanya apalagi kalau tidak bisa mengendalikan hawa nafsu yang kurang bisa menghargai pendapat orang lain yang nyata-nyata dalam buktinya orang tesebut lebih berhati-hati dan lebih takut kepada Allah ketimbang dirinya yang ceroboh dan dikuasai nafsu.

Bukan berarti kebebasan berfikir terbelenggu dengan mengikuti pendapat ulama' yang lebih waro', boleh saja kita berijtihad dan berpendapat, tetapi jangan abaikan syaratnya yang bukan hanya cuma yang penting bisa berfikir, masuk akal sendiri dan bisa di fahami oleh kerabat yang sepaham dan dianggap sesuai dengan dalil yang di ambil secara parsial padahal jika di pahami lengkap dan ditinjau nash mansuhnya dalil tersebut sama sekali tidak sesuai dengan pendapatnya dll, lihat pula betapa diri seorang yang berijtihad itu hendaknya tidak terbawa emosi dan memiliki ketakwaan yang lebih, takut akan azdab Allah ketika pendapatnya salah dan menyesatkan. Allah akan memberi pahala kepada mujtahid itu satu jika salah itu benar karna seorang mujtahid yang dimaksud benar-benar memiliki ketakwaan dan kehati-hatian yang sangat tinggi disamping syarat lain yang mutlak harus dimiliki seorang mujtahid untuk menjaga kemurnian ajaran islam, bukan mujtahid yang sembrono dan penuh dengan emosi begitu.

Kok saya juga jadi emosi, berarti ana belum memenuhi syarat jadi mujtahid :) tapi boleh lho marah ketika kebenaran diinjak-injak dan berusaha diacak oleh orang namun harus di olah di kendalikan sehingga menjadi semangat untuk memperbaiki dan mempertahankan kebenaran atau bahkan mendakwahkan.
wallahu a'alam