Wednesday, June 19, 2013

Apa artinya saya telah bersyahadat?

setiap orang yang ingin memeluk agama islam, harus didasarkan suka rela tanpa paksaan oleh siapapun "la ikroha fiddin" tidak ada paksaan dalam agama. 
adapun pernyataan perangilah manusia sampai mengucap la ilaha illallah, lebih kepada maknawi yaitu tunduk tidak melawan pd islam. wallahu a'lam bishowab.

Sunday, October 4, 2009

Menelusuri Tauhid Islam

Berawal dari Sabda Rasulullah SAW yang berkenaan tentang Tauhid :

 

Rasulullah SAW pernah bersabda : Para manusia ahli tauhid di adzab dalam neraka, sampai mereka hangus didalamnya, dan selanjutnya mereka mendapatkan Rahmat, maka mereka keluar (dr neraka) dan mendapati pintu syurga, maka menyugukan pada mereka para ahli syurga dengan air, maka bangkitlah mereka seperti tumbuhnya "ghutsa' dalam himalah as-sail", kemudian mereka masuk syurga (HR. Ahmad no.14665 dan Turmudzi 1082) versi al-eman.com)

 

Dalam hadits di atas rasulullah berbicara tentang tauhid, kemudian pada tempat lain imam Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yg panjang, bahwa rasulullah bersabda "Barang siapa yang Bersaksi bahwa tidak ada Illah kecuali Allah dan Muhammad adalah rasulullah maka diharamkan atasnya neraka".

 

Diriwayatkan dari Zuhair, bahwa dia ditanya tentang perkataan nabi SAW "Barang siapa yang berkata La Ila Ha illallah maka masuk syurga" maka dia menjawab, bahwa hal itu adalah di awal kelahiran islam, sebelum turunnya Kewajiban, perintah dan larangan. Berkata Abu Isa bahwa hadits ini oleh para ulama disimpulkan bahwa para ahli tauhid akan masuk syurga, walaupun sebelumnya akan di adzab terlebih dahulu di neraka karena dosa2 mereka, namun mereka tidaklah kekal didalam neraka.

 

Dan diriwayatkan dari Abdullah ibnu mas'ud yg sandanya sampai pada Anas bin malik bahwa nabi bersabda :"Akan keluar satu qoum dari neraka dari Ahli Tauhid dan kemudian mereka masuk ke dalam syurga". Kemudian abu hurairah meriwayatkan dari Rasul SAW, dalam menafsirkan ayat " Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. (Alhijr ayat 2), berkatalah mereka, ketika dikeluarkan para ahli tauhid dari neraka kemudian di masukkan kedalam syurga, maka sering kali orang2 kafir itu berkata, kiranya mereka dahulu menjadi orang-orang muslim. (terangkai dalam satu hadits dalam 3 paragraf ini, Turmudzi No. 2849 versi al-eman.com)

 

Dari hadits hadits tersebut di atas maka kita dapat fahami dengan seksama, dan kita ketahui bahwa kalimat tauhid adalah kalimat "La Ilaaha Illallah" (Tiada ilaah kecuali Allah).

 

Ibnu hajar Al-atsqolani dalam mengambil Murod atau pengertian dari tauhid dalam kitab fathul baari beliau mengatakan.

 

Maksud dari tauhid adalah "Ikrar dengan Dua kalimat syahadat, kemudian meng-aplikasikan perkataannya itu kepada Tauhid" (fathul baari bab tauhid)

 

Nah pengertian ini sangat cocok dengan hadits-hadits Rasulullah SAW, jadi barang siapa yg meyakini bahwa tiada Ilah kecuali Allah, kemudian dia menjalankan ikrarnya dengan tidak menyekutukan Allah (atau mengambil ilah lain selain Allah) maka sesungguhnya orang tersebut telah bertauhid.

 

Tak akan pernah kita temukan dalam hadits maupun qur'an akan pembagian tauhid menjadi tiga atau emapat. Hal yang di klaim sebagai hasil pemikiran dalam hal ilmu pengetahuan di bidang tauhid ini adalah hal yang baru yg harus kita waspadai.

 

Tidaklah menjadi masalah suatu hasil ijtihad ulama yang tidak bertentangan dengan Al-qur'an dan as-sunnah, namun dalam hal pembagian tauhid menjadi tiga yaitu Rububiyah, uluhiyah dan asma' wa sifat ini perlu kita ceck ke-singkronannya dengan Al-qur'an dan Hadits. Mari kita periksa :

 

1.      Mereka mengatakan bahwa orang kafir Quraisy adalah bertauhid rububiyah dg berdasar pada ayat :

 

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah )? (Az-zuhruf  87)

 

Mereka terlalu terburu-buru dan berani menyimpulkan bahwa musyrikin quraisy itu bertauhid rububiyah, ini adalah bertentangan dengan sabda nabi di atas, akan tolak ukur tauhid itu sendiri, apalagi ayat di atas ini diteruskan dengan penegasan Rasulullah dalam menilai orang-orang quraisy ini, seraya berbunya :

 

dan (Allah mengetabui) ucapan Muhammad: "Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman." (Az-zuhruf 88)

 

Bagaimana mungkin orang yang telah ditegaskan oleh Nabi dalam al-qur'an sebagai orang yg tidak beriman (kafir), malah dikatakan sebagai bertauhid Rububiyah oleh sebagian golongan ini?

 

Perlu digaris bawahi bahwa orang yg tidak bertauhid maka kekal di neraka, sebagai mana hadits di atas, dan orang yang bertauhid walau ke neraka dulu, tapi ada harapan masuk syurga. Maka menghukumi seseorang bertauhid, baik sebagian atau secara utuh adalah berkaitan dg syurga dan neraka, maka perlu diceck dan diwaspadai pembagian tauhid yg berkonsekwensi atas pernyataan bahwa orang Musyrikin Quraisy itu Bertauhid Rububiyah.

 

2.      Dalam pembagian tauhid menjadi tiga ini, para pengikutnya dan para syeh mereka mengeklaim bahwa itu adalah bukan bid'ah, dengan alasan itu adalah wilayah ilmu pengetahuan (ijtihad) untuk memudahkan pemahaman, sebagaimana ulama merumuskan ilmu nahwu, ilmu fiqih, tajwid dan lain sebagainya.

 

Namun apakah benar mereka menganggap demikian, kaum ini sangat egois sekali menurut ana, bagaimana tidak, mereka tidak mau dikatakan bid'ah karna membagi tauhid menjadi tiga, dengan alasan diatas tadi, jika kita cermati, terdapat pembagian sifat wajaib bagi Allah oleh ulama Asy'ariyah dan maturidiyah yaitu menjadi 13 dan ada pula yang membagi menjadi 20, tapi keduanya akur, tidak saling tuduh bid'ah dan keduanya adalah di akui ahlussunnah wal jama'ah.

 

Akan tetapi sangat berbeda jauh dengan kaum pembagi tauhid jadi tiga ini, mereka menganggap Bid'ah, kepada segolongan lain yang membagi tauhid menjadi empat, yaitu (rububiyah, uluhiyah, asma wa sifat, serta mulkiyah). Entah apa yg terjadi dlm pemikiran mereka, mereka menganggap bid'ah segala sesuatu yg tidak disetujui oleh syeh-syeh mereka.

 

Demikianlah kisah tentang tauhid di akhir zaman ini, jika anda ingin selamat, maka kembalilah pada Al-qur'an dan hadits, dan berhati-hatilah pada tauhid baru yg sedang marak saat ini.

wallahu a'lam bishowab.

 By : Vendi

--

Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Tuesday, September 22, 2009

Tentang Shalat Sunah Tasbih

Pertanyaan tentang shalat sunnah tasbih, adakah dalilnya dan bagaimana caranya?

Rahmat dan kesejukan jiwa semoga selalu menghiasi hari hari anda,

Saudaraku yg kumuliakan,

1. berikhtilaf para ulama akan waktu shalat tasbih yg afdhal, namun tentunya shalat tasbih diperbolehkan disegala waktu selain waktu yg terlarang utk shalat sunnah, dan mengenai waktu yg afdhal para fuqaha kita dari kalangan syafii menentukannya diwaktu antara magrib dan Isya,

2. caranya adalah 4 rakaat dg dua salam, dan saat selepas Takbiratul Ihram maka membaca subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu Akbar 10X, lalu fatihah, lalu surat, lalu membaca bacaan itu lagi 15X, lalu ruku dan membaca lagi 10X, lalu I;tidal membacanya lagi 10X, lalu sujud membacanya lagi 10X, lalu duduk antara dua sujud dg membacanya lagi 10X, lalu sujud dg membacanya lagi 10X,

lalu berdiri dan berbuat seperti tadi yaitu 10X sebelum fatihah dan 15 X setelah surat, demikian sebagaimana diatas, sampai 4 rakaat, hingga jumlah bacaannya 300X, yaitu 75X setiap rakaat, demikian diajarkan Rasul saw dalam haditsnya yg diriwayatkan oleh Imam Baihaqiy, Imam Ibn Majah dll,

3. tidak ada suatu doa tertentu dalam shalat ini, anda dapat membaca doa yg anda inginkan

Faedahnya :

mengenai shalat tasbih, riwayatnya adalah berkata Rasulullah saw kepada Abbas ra : "Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah kau kuberi?, maukah kau termuliakan? , maukah kau kuajari keluhuran..? , maka perbuatlah 10 hal, yg jika kau kerjakan maka Allah akan mengampuni dosamu yg pertama dan terakhir, dosa yg terdahulu dan yg baru, yg sengaja dan tak sengaja, yg besar dan yg kecil, yg tersembunyi dan yg terang terangan, 10 bagian yaitu kau shalat 4 rakaat, dan kau membaca pada setiap rakaat surat Fatihah dan surat lainnya,jika selesai dari bacaannya maka bacalah Subhanallah walhamdulilllah walaa ilaha illallah wallahu akbar 15X, lalu......(demikian Rasul saw meneruskan bacaan shalat tasbih sebagaimana kita ketahui).. maka jadilah setiaprakaat 75X dzikir itu, lakukan demikian 4 rakaat, maka lakukanlah jika mampu akan hal itu setiap hari, jika tidak maka setiap jumat sekali, jika tidak maka setiap bulan sekali,jika tidak maka setahun sekali, jika tidak maka seumur hidupmu sekali (

HR Sunan Abi Dawud bab shalat tasbih,

Mustadrak ala shahihain Bab Shalat Tattawwu',

Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Bab Fadhl Attasbih, dll).

--
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Tuesday, September 15, 2009

Cara Memulai Bisnis Ekspor di Rumah

Salah satu cara terbaik membangun sebuah bisnis yang sukses ialah melalui kegiatan ekspor/impor. Anda bisa menawarkan bisnis dengan klien di seluruh dunia. Anda tidak perlu memiliki pengalaman sebelumnya, namun harus memiliki manajemen bisnis yang baik.
Sukses memenuhi kebutuhan bisnis ekspor memerlukan perhatian ekstra dan detil. Apakah Anda tahu beberapa produsen lokal menggunakan beragam cara untuk meningkatkan pasar mereka? Atau Anda merencanakan untuk membawa produk Anda ke luar negeri dan ingin menghubungi rekan Anda untuk mendirikan sebuah bisnis?
Jika Anda memiliki kemampuan untuk menjual, dan mempromosikan produk, bisnis impor dan ekspor sesuai untuk Anda. Anda hanya membutuhkan keinginan dan tekad untuk membuatnya bekerja. Silakan mempelajari bisnis ini, dan pertimbangkan risiko serta keuntungannya.
1. Anda dapat memulai bisnis ini di rumah dengan fasilitas telepon, sistem file, kartu nama, dan sebuah mesin untuk menjawab panggilan telepon. Selain itu, buatlah kepala surat yang berkelas dengan desain timbul atau berwarna emas agar Anda terlihat profesional ketika mengirimkan surat penawaran.
2. Melakukan kontak. Langkah yang paling penting dalam mendirikan bisnis Anda adalah mencari rekan berbisnis. Anda mungkin punya kerabat di negara asing untuk membangun hubungan bisnis di suatu negara. Atau, Anda mampu memprediksikan peluang bisnis baru di suatu tempat,mempertimbangkan risiko dan keuntungan. JIka demikian, yang Anda butuhkan adalah keinginan dan tekad untuk memulai bisnis.
3. Persiapkan mail campaign. Daftar semua kemungkinan kontak lalu buat surat perkenalan perusahaan Anda sertakan nama dan alamat perusahaan yang valid. Selain itu, mempersiapkan kampanye besar-besaran mail. Untuk setiap kemungkinan kontak, menulis surat memperkenalkan perusahaan Anda, yang meminta nama dan alamat perusahaan yang tepat untuk menghubungi. Anda juga bisa memposting pemberitahuan yang diterbitkan melalui buletin bulanan.
Cara termudah untuk membuat ratusan surat adalah dengan menggunakan software yang mampu memproduksi surat yang sama dengan alamat yang berbeda. Cara ini akan menghemat uang yang Anda keluarkan.
4. Mendapatkan informasi. Perkaya pengetahuan Anda dengan bacaan mengenai perdagangan bisnis melalui surat kabar internasional, majalah berita, dan laporan keuangan untuk menganalisa dan menemukan target pasar yang tepat. Bagaimana cara Anda menjual? Lakukan analisa pasar secara hati-hati dan amati tren pasar. Hal ini untuk mempermudah Anda memilih produk yang tepat untuk melakukan bisnis ekspor.
Sehingga Anda dapat menentukan barang apa yang pasar inginkan untuk ekspor dan bagaimana mendistribusikannya? Apakah perusahaan Anda menguasai wilayah tertentu, apakah memiliki cabang perwakilan penjualan di kota-kota lain?
5. Mintalah informasi apapun yang Anda butuhkan, untuk mencari tahu apa kebutuhan pasar. Jika perusahaan adalah produsen, mintalah sampel atau katalog, gambaran terkini mengenai distribusi produk, dan permintaan produk di negara tujuan ekspor. (sumber : www.foreign-trade.com)
.
Salam,
www.bungapapan.net
Jasa pembuatan bungapapan
021 93606390
0818745955
bungapapan@gmail.com

Wednesday, September 9, 2009

Dialog Syeh Ramadhan Buuthi vs Syeh Al-albani

Diskusi Dengan Golongan Bebas Madzhab (Anti Madzhab)

Fasal ini sangat penting bila dibandingkan dengan fasal lain dalam risalah kami kerana bukan saja mengandung huraian-huraian ilmiah yang baru. Dalam fasal ini pembaca akan melihat bentuk fanatic berlebihan yang tidak akan ditemui pada diri mereka yang masih mempunyai akal sihat.

Mereka, para anti madzhab, menuduh bahawa golongan pengikut madzhab adalah fanatik kerana tidak mahu beranjak dari perkara hak yang berdasarkan ribuan dalil. Akan tetapi, mereka sendiri sebenarnya terkurung dalam sangkar kefanatikan yang justeru membuat mereka seperti kehilangan akal sihatnya.

Seorang pemuda bersama kawan-kawannya datang menghadap kami dan berbicara tentang suatu masalah. Lalu kami bertanya, "Bagaimanakah cara anda memahami hukum Allah? Apakah anda mengambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah atau mengambilnya dari para imam mujtahid?

Dia menjawab, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid beserta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Kitab dan As-Sunnah."

Lalu kami bertanya lagi, "Seandainya anda mempunyai wang lima ribu lira Syiria dan wang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu Anda mempergunakan untuk membeli barang dagangan, bilakah anda wajib membayar dagangan anda tersebut? Apakah setelah enam bulan kemudian atau setelah satu tahun?"

Sambil berfikir, ia menjawab, "Maksud pertanyaan tuan ialah harta dagangan itu wajib dizakati?"

Kami pun lalu berkata, "Kami ini bertanya dan kami harap anda menjawab menurut cara (pengertian) anda sendiri. Perpustakaan berada di hadapan anda dan di situ terdapat kitab-kitab tafsir, hadith, dan kitab-kitab para imam mujtahid."

Setelah berfikir sebentar, ia berkata, "Ah tuan! Ini adalah masalah agama dan bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Untuk itu, perlu mempelajarinya dengan saksama dan memerlukan waktu. Kami datang ke mari kerana ingin membahas masalah lain."

Kemudian, kami pun pindah pada masalah lain dan berkata, "Baiklah, kami ingin bertanya, apakah setiap orang Islam wajib meneliti dalil-dalil yang dikemukakan oleh para imam mujtahid, kemudian mengambil mana yang paling sesuai dengan Al-Quran Al-Karim dan As-Sunnah?"

Ia menjawab, "Ya benar."

Lalu kami bertanya lagi, "Kalau demikian, bererti semua orang Islam harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan, mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna kerana orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam menurut dasar Al-Kitab dan As-Sunnah sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu."

Dia menjawab, "Sesungguhnya manusia itu terbahagi menjadi tiga macam, iaitu mujtahid, muqallid, dan muttabi'. Orang yang mampu membandingkan madzhab kemudian menyaring mana yang lebih dekat kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, adalah muttabi', iaitu pertengahan antara muqallid dengan mujtahid."

Kami bertanya lagi, "Apakah sebenarnya kewajiban muqallid?"

Dia menjawab, "Taqlid kepada mujtahid yang cocok (sesuai – pen.) dengannya."

Kami bertanya lagi, "Apakah berdosa seandainya taqlid secara terus menerus kepada seorang imam dan tidak pindah kepada imam yang lain?"

Ia menjawab, "memang, hal itu hukumnya haram."

Kami bertanya, "Apakah dalilnya kalau hal itu memang haram?"

Dia berkata, "Kerana ia menetapi sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah."

Kami bertanya, "Dengan qira'at apakah anda membaca Al-Quran?"

Dia menjawab, "Dengan qira'at Hafas."

Kami bertanya lagi, :Apakah anda selalu membaca Al_quran dengan qira'at hafas, atau anda juga membaca Al-Quran setiap harinya dengan qira'at yang bermacam-macam?"
Ia menjawab, "Tidak, saya selalu membaca Al-Quran dengan qira'at Hafas."

Lalu kami bertanya lagi, "Mengapa anda menetapi qira'at Hafas, padahal Allah 'Azza wa Jalla tidak mewajibkan anda, kecuali membaca Al-Quran menurut riwayat yang diterima dari Nabi SAW. secara mutawatir."

Ia kemudian menjawab, "kerana saya tidak sempurna dalam mempelajari qira'at yang lain dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al-Quran selain qira'at Hafas."

Kami berkata kepadanya, "Demikian pula halnya bagi orang yang mempelajari fiqih menurut madzhab as-Syafi'i. Dia tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain menurut Imam Asy-Syafi'i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini bererti anda pun wajib mempelajari semua qira'at dan anda harus membaca semuanya. Kalau anda beralasan tidak mampu, demikian pula halnya dengan si muqallid tadi. Ringkasnya, kami ingin menanyakan kepada anda, apakah alasan yang mewajibkan muqallid harus berpindah-pindah dari madzhab satu ke madzhab lain, padahal Allah 'Azza wa Jalla tidak mewajibkan seseorang untuk berpegang terus pada suatu madzhab tertentu, juga tidak mewajibkan seseorang berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain."

Dia menjawab, "Sesungguhnya yang haram ialah kalau seseorang mempunyai i'tikad (keyakinan) bahawa Allah memerintahkannya untuk terus menerus menetapi madzhab tertentu."

Kami berkata, "Ini masalah lain dan apa yang anda katakan itu memang benar juga tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi, masalahnya sekarang ialah bagaimana kalau ia terus-menerus menetapi imam tertentu dan ia tahu bahawa Allah 'Azza wa Jalla tidak mewajibkan kepadanya begitu. Apakah dia telah berdusta?"

Dia menjawab, "Tidak, jika demikian?"

Kami berkata lagi, "tetapi, buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari menyebutkan hal yang berbeda dengan apa yang anda ucapkan. Ia secara tegas mengharamkan hal tersebut, bahkan bahagian-bahagian tertentu dari buku itu menyatakan kafir kepada orang yang menetapi terus-menerus seorang imam tertentu dan tidak mahu berpindah kepada yang lain."

Dia lalu bertanya, "Mana…?"

Selanjutnya ia berfikir ibarat buku tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi, "Bahkan siapa yang menetapi seorang imam yang tertentu dalam setiap masalah, bererti ia fanatic yang salah dan taqlid buta, serta termasuk golongan yang memecah belah agama, serta mereka pun berkelompok-kelompok."

Setelah berfikir sejenak, ia kemudian menyatakan bahawa yang dimaksud menetapi di sini ialah meyakinkan wajibnya hal tersebut menurut syariat. Jadi, dalam 'ibarat' tersebut terdapat kekurangan,

Kemudian kami bertanya lagi, "Apakah buktinya kalau penulis buku tersebut memaksudkan demikian? Mengapa anda tidak menyatakan bahawa penulis buku itu keliru?"

Atas pertanyaan ini dia tetap berpendirian bahawa pernyataan pada buku Halil Muslimu Mulzamun Bittibaa'I Madzabin Mu'ayyanin Minal Madzaabil Arba'ah dapat dibenarkan dan penulisnya pun tetap tidak salah kerana dalam pernyataan tersebut memang ada kekurangan kata.

Lalu kami berkata lagi, "Setiap orang Islam mengetahui bahawa mengikuti seorang imam tertentu dari keempat madzhab bukan termasuk kewajipan syariat, tetapi atas dasar pilihan (kesedaran) orang itu sendiri."

Ia menyatakan, "Bagaimana bisa demikian? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebahagian ahli ilmu bahawa diwajibkan secara syariat untuk menetapi madzhab tertentu dan tidak boleh berpindah-pindah pada yang lain."

Kami lalu menjawab, "Cuba anda sebutkan kepada kami nama seorang saja dari orang awam atau kalangan ahli ilmu yang menyatakan demikian."

Ia kemudian berdiam sejenak dan berasa hairan dengan ucapan kami yang benar bahawa sesungguhnya apa yang ia gambarkan adalah sebahagian besar manusia mengharamkan berpindah-pindah madzhab. Kami berkata kepadanya, "Anda tidak menemukan orang yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahawa pada masa terakhir Dinasti 'Utsmaniyyah, mereka keberatan kalau ada seorang yang bermadzhab Hanafi pindah ke madzhab lain. Hal ini kalau memang benar, termasuk fanatic buta yang terkutuk."

Setelah itu, kami bertanya lagi kepadanya, "Dari mana anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'? Perbedaan ini ditinjau dari segi bahasa atau istilah?"

Dia menjawab, "Perbedaannya ialah dari segi bahasa."

Kami pun mengambil kitab-kitab lughah agar ia dapat menetapkan perbedaan makna bahasa dari dua kalimat tersebut, tetapi ia tidak menemukan apa-apa.

Kemudian kami katakan kepadanya, Sayyidina Abu Bakar r.a. pernah berkata kepada seorang Arab Badwi (pedusunan) yang menentang pajak dan perkataannya ini pernah diakui segenap para sahabat:

"Apabila para sahabat muhajirin telah rela, kamu sekalian harus menyetujui (mengikuti)."

Abu Bakar mengatakan, "taba'un" (mengikuti) yang mempunyai erti menyetujui (muwafaqah).

Kemudian ia berkata, "Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segi istilah dan bukan hak saya untuk membuat suatu istilah.

Kami menjawab, "Boleh-boleh saja anda menjawab istilah, tetapi istilah yang anda buat tetap tidak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang anda sebut muttabi', kalau dia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, bererti dia adalah mujtahid. Akan tetapi, bila tidak tahu dan tidak mampu melakukan istinbath, bererti dia adalah seorang muqallid. Apabila dalam suatu masalah mampu, tetapi dalam masalah lain tidak, bila tidak tahu dan tidak mampu melakukan istinbath, bererti dia adalah seorang muqallid. Apabila dalam suatu masalah mampu, tetapi dalam masalah lain tidak, beerti dia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh kerana itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, iaitu mujtahid dan muqallid, dan hukumnya sudah cukup jelas dan diketahui."

Ia berkata, "Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu darinya. Tingkatan ini berbeda dari taqlid."

Kami menyatakan, "Kalau yang anda maksudkan membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, beerti tingkat ini lebih tinggi daripada ijtihad. Apakah anda mampu akan berbuat demikian?"

Lalu ia menjawab, "Saya akan lakukan sekuat kemampuan saya."

Kami berkata kepadanya, "Kami mengetahui bila anda telah memberi fatwa bahawa talak tiga yang dijatuhkan dalam satu majlis bererti satu talak saja. Apakah sebelum menyampaikan fatwa, anda telah meneliti pendapat para imam madzhab serta dalil-dalil mereka, kemudian anda memilih salah satu dari pendapat mereka dan anda fatwakan? Ketahuilah bahawa Uwaimir Al-Ijlani telah menjatuhkan talak tiga kepada isterinya di hadapan Rasulullah SAW. setelah ia bersumpah li'an dengan isterinya. Ia berkata, "saya akan berbohong kepadanya, ya Rasulullah, bila saya menahannya, dan saya talak tiga." Bagaimana pengetahuan anda tentang hadith ini dan kedudukannya dalam masalah ini, serta pengertiannya menurut madzhab sebahagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyah?"

Lalu dia menjawab, "Saya belum melihat hadith ini."

Kemudian kami bertanya, "Bagaimana anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh keempat imam madzhab, padahal anda mengetahui dalil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalil tersebut. Kalau begitu anda belum telah meninggalkan prinsip yang anda anut, iaitu ittiba', menurut istilah yang anda katakan sendiri."

Pemuda itu menyatakan, "Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab."

"Kalau begitu, apa yang mendorong anda untuk tergesa-gesa memberikan fatwa yang menyalahi pendapat jumhur kaum muslimin, padahal anda belum memeriksa dalil-dalil mereka?" Kami bertanya kepadanya.

Pemuda itu menjawab, "Apakah yang harus saya lakukan ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut, sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?"

Kami katakan kepadanya, "Sesungguhnya cukup bagi anda untuk mengatakan, "Saya tidak tahu tentang masalah ini", atau anda menukil saja pendapat madzhab empat kepada si penanya, serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat tanpa harus memberikan fatwa kepadanya dengan salah satu pendapat. Demikianlah, apa yang kami kemukakan ini sudah cukup untuk anda dan memang sampai di situlah kewajipan anda, apalagi masalah itu tidak langsung menyangkut diri anda sehingga anda harus tergesa-gesa mencari jalan keluar. Akan tetapi, bila anda memberikan fatwa dengan pendapat yang menyalahi ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka kerana anda menganggap cukup dengan dalil yang ada pada pihak yang bertentangan dengan madzhab empat, anda telah berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu anda tuduhkan kepada kita."

Kemudian dia mengatakan, "Saya telah menelaah pendapat keempat imam dalam kitab Subulus Salam karya Asy-Syaukani dan Fiqhus Sunnah karya As-Sayyid Sabid."

Kami menjawab, "Kitab yang anda sebutkan adalah kitab yang (pendapat pengarang tersebut) bertentangan dengan pendapat keempat-empat imam madzhab dalam masalah ini. Semuanya bicara dengan satu nada dan alasan yang sama. Apakah anda rela menjatuhkan vonis (hukum) kepada salah seorang tertuduh hanya mendengarkan keterangan tertuduh sahaja, keterangan saksi-saksi, dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan tertuduh lain?"

Kemudian pemuda itu menyatakan, "Saya kira apa yang telah saya lakukan tidak patut dicela.
Saya telah memberikan fatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan faham saya."

Selanjutnya, kami mengatakan kepadanya, "Anda telah menyatakan sebagai seorang muttabi' dan kita semua harus menjadi muttabi'. Dan anda telah menafsirkan ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakannya, kemudia mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar.
Akan tetapi, apa yang telah anda lakukan ternyata bertolak belakang. Anda telah mengetahui bila madzhab empat telah ijma' bahawa talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus, bererti jatuh tiga. Anda mengetahui bahawa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja anda belum melihatnya. Namun demikian, anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan anda. Apakah anda sejak semula telah yakin bahawa dalil-dalil keempat madzhab itu tidak dapat diterima?"

Dia menjawab, "Tidak, hanya saya saja tidak melihatnya kerana saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut."

Kami bertanya kepadanya, "Mengapa anda tidak mahu menunggu? Mengapa anda tergesa-gesa padahal Allah SWT. Tidak memaksakan anda berbuat demikian? Apakah kerana anda tidak melihat dalil-dalil ulama jumhur yang dapat dipakai sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibn Taimiyah? Apakah fanatik yang anda anggap dusta itu tiada lain ialah apa yang anda telah perbuat?"

Ia menyatakan, "Dalam kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah melihat beberapa dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu,"

Kemudian kami bertanya lagi, "Apabila seorang muslim melihat satu dalil dalam kitab yang ia baca, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua madzhab yang berbeda dengan fahamnya, meskipun ia belum melihat dalil-dalil dari madzhab tersebut?"

Jawabnya, "Cukup."

Lalu kami mengatakan, "Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk Islam, dan ia sama sekali tidak mengetahui pendidikan agama Islam. Lalu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jalla:


Ertinya:
[I]"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui

Pemuda (yang baru masuk Islam) tersebut lalu beranggapan bahawa setiap orang yang hendak melakukan solat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana ditunjukkan oleh zahirnya lafaz ayat Al-Quran. Kemudian ia mendengar bahawa keempat-empat madzhab telah sepakat bahawa ia harus menghadap Kaabah. Ia pun mengetahui bahawa para imam tersebut mempunyai dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum melihatnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut manakala ia akan solat? Apakah cukup dengan mengikuti panggilan jiwanya saja kerana ia telah menemukan ayat Al-Quran tersebut atau ia harus mengikuti imam-imam yang berbeda dengan fahamnya?"

Ia menjawab, "Cukup dengan mengikuti panggilan hatinya."

"Meskipun menghadap ke arah timur, misalnya.
Apakah solatnya dianggap sah?" Demikian kami tanyakan dengan rasa hairan.

"Ya, kerana ia diwajibkan mengikuti panggilan hatinya," jawabnya.

Kemudian kami mengatakan, "Andaikata panggilan jiwa pemuda itu (yang baru masuk Islam) mengilhami dirinya sehingga ia berasa tidak apa-apa berbuat zina dengan isteri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar, dan merampas harta manusia tanpa hak, apakah Allah akan memberikan syafaat kepadanya lantaran panggilan jiwa (hati)?"

Kemudian dia diam sejenak, lalu berkata, "Sebenarnya contoh-contoh yang tuan tanyakan hanyalah khayalan belaka dan tidak ada buktinya,"

Lalu kami berkata, "Bukan khayalan atau dugaan semata, bahkan sering terjadi hal seperti itu atau lebih aneh lagi. Bagaimana tidak! Seorang pemuda yang tidak mempunyai pengetahuan apa-apa tentang Islam, Al-Kitab, dan As-Sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Quran yang ia fahami menurut apa adanya. Ia kemudian berpendapat bahawa boleh saja solat menghadap kea rah mana saja meskipun ia tahu persis bahawa solat diharuskan menghadap kiblat (Kaabah) Dalam keadaan ini, apakah anda tetap berpendirian bahawa solatnya sah, kerana menganggap cukup dengan adanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut. Di samping itu, menurut anda, bisikan hati atau panggilan jiwa dan kepuasan mental boleh saja memutuskan segala urusan pendirian. Pendirian ini jelas bertentangan dengan prinsip anda, bahawa manusia terbahagi menjadi tiga kelompok, yakni mujtahid, muqallid dan muttabi'.

Setelah kami katakana demikian, ia menyatakan bahawa sebenarnya pemuda tersebut (yang baru masuk Islam) harus membahas dan meneliti. Apakah ia tidak membaca hadith atau ayat lainnya?

Kemudian kami menyatakan, "Ia tidak memiliki cukup bahan untuk membahas sebagaimana halnya anda ketika membahas tentang masalah talak. Ia tidak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain ayat di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan cara meninggalkan ijma' para ulama?"

Lalu ia menjawab, "Memang harus demikian, kalau ia tidak mampu mambahas dan menganalisis. Baginya cukup berpegang pada hasil fikirannya sendiri dan ia tidak salah."
Kami katakan kepadanya, "Ucapan anda sangat membahayakan dan menghairankan dan akan kami siarkan…"

Dia mengatakan, "Silakan tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut!"

Kami pun menjawab, "Bagaimana anda takut kepada saya, padahal anda sendiri tidak kepada Allah SWT. Sungguh, dengan ucapan tersebut, anda telah membuang firman Allah SWT.:

فاسألوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون


Ertinya:
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui."
[Q.S An-Nahl (16:43)]

Selanjutnya, dia menyatakan, "Tuan, para imam bukanlah orang yang ma'sum. Adapun ayat yang ia pegang merupakan firman Allah yang terpelihara dari kesalahan. Bagaimana mungkin ia harus meninggalkan yang ma'sum dan berpegang pada orang yang bukan ma'sum?"

Jawapan kami, "Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna hakiki yang dikehendaki oleh Allah 'Azza wa jalla dengan firmanNya:
Ertinya:
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat…"

Akan tetapi, faham pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'sum. Jadi, masalahnya ialah perbandingan antara dua faham, yakni faham atau pemikiran dari seorang pemuda yang jahil (bodoh) dan faham tau pemikiran pada imam mujtahidin, yang kedua-duanya tidak ma'sum. Hanya saja perbedaannya ialah yang satu terlalu bodoh (jahil), sedangkan yang lain (imam mujtahidun) sangat dalam ilmunya."

Lalu ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT. tidak membebani dia melebihi kemampuannya."

Selanjutnya, kami mengatakan kepadanya, "Tolong, jawablah pertanyaan ini, "Seorang mempunyai anak kecil yang sedang sakit panas. Menurut saran semua doktor yang ada di kota, ia harus diberi ubat khusus dan mereka melarang orang tua si anak untuk mengubatinya dengan antibiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orang tua si anak bila dilanggar (nasihat doktor itu) hal itu akan menyebabkan kematian sang anak. Kemudia orang tua tersebut membaca selebaran tentang kesihatan, dan menemukan keterangan bahawa antibiotok kadang-kadang bermanfaat untuk pengubatan sakit panas. Dengan adanya selebaran (pamphlet) ini, si orang tua tidak memedulikan lagi nasihat doktor kerana ia tidak mengerti alasan yang melatarbelakangi larangan doktor. Kemudian dengan panggilan hatinya, ia mengubati anaknya dengan antibiotik sehingga mengakibatkan kematian si anak. Dengan tindakan ini, apa orang tua tersebut berdosa atau tidak?"

Pemuda itu diam sejenak, lalu berkata, "Saya kira masalah tersebut lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sedang kita bicarakan."

Kami memberikan keterangan, "Masalah ini sama hakikatnya dengan hal yang sedang kita bicarakan. Cuba anda perhatikan! Orang tua tersebut sudah mendengarkan ijma' (kesepakatan) para doktor, sebagaimana pemuda tadi juga telah mendengar ijma' ulama'. Akan tetapi orang tua tersebut justeru berpegang pada selebaran buku kesihatan, sebagaimana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya."

Kemudian ia berkata, "Tuan, Al-Quran adalah Nur. Nur Al-Quran tidak dapat disamakan dengan yang lain."

Kami bertanya kepadanya, "Apakah pantulan Al-Quran itu dapat difahami oleh yang membaca sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT.? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam meneriama cahaya Al-Quran?"

Dua contoh di atas adalah sama. Anda harus menjawab apakah keduanya harus menerima begitu sahaja panggilan hatinya atau harus mengikuti dan taqlid kepada orang yang ahli?"

Pemuda itu menjawab, "Panggilan hati adalah yang paling pokok."

Lalu kami menyatakan, "Orang tua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya sehingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagi orang tua, baik dari segi syariat maupun tuntunan hukum?"

Dengan tegas ia menjawab, "Dia tidak dapat dituntut apa-apa."

Kemudian kami menyatakan, "Dengan pernyataan anda seperti ini, saya kira dialog dan diskusi ini kita cukupkan sampai di sini saja. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan anda. Dengan jawapan anda yang sangat menghairankan itu, cukuplah kiranya anda telah keluar dari ijma' kaum muslimin."

Cuba anda renungkan! Seorang muslim yang jahil (bodoh) hanya mengandalkan hatinya dalam memahami apa yang ia temukan dalam Al-Quran Al-Karim. Lalu ia mengerjakan solat menghadap ke arah selain kiblat dan menyalahi semua umat Islam, biasa dengan panggilan jiwanya, ia mengubati orang yang sakit sekehendaknya, sehingga menyebabkan kematian orang yang ia ubati. Lalu atas perbuatannya itu, ia terbebas dari segala tuntutan.

Kalau demikian halnya, mengapa mereka tidak membiarkan orang-orang bodoh menggunakan panggilan jiwanya untuk taqlid dan mengikuti imam mujtahid kerana mereka (para mujtahid) lebih waspada daripada mereka tentang urusan kitab Allah 'Azza wa Jalla dan Sunnah Rasullah SAW.?

Pendapat ini mungkin salah menurut mereka, tetapi tercakup dalam pengertian memenuhi panggilan jiwa.

Setelah kami ungkapkan dialog kami dengan pemuda ajaib (aneh ini), kami ingin menghimbau kepada para pembaca agar sedar dan insaf serta membebaskan diri dari fanatic. Apabila pembaca ingin mengetahui perkara yang hak dengan segala alasan serta dalil-dalilnya, apa yang telah kami tulis dan kami jelaskan sudah cukup mengungkapkan perihal yang samar-samar dan menghilangkan semua hal yang meragukan.

Akan tetapi, kalau anda mempertahankan pendapat lantaran fanatik dan fanatic itu sudah menjadi watak dan karekter anda, berapa banyak pun dalil dan alasan yang saya tambah, tetap tidak akan ada gunanya untuk anda. Sesungguhnya masalah anda bukanlah masalah kebodohan yang dapat dihilangkan dengan ilmu, tetapi masalah fanatik yang tidak dapat dihilangkan dengan ilmu, tetapi masalah fanatik yang tidak mungkin dapat dilengkapkan, kecuali dengan cara melakukan koreksi peribadi yang tulus di hadapan Allah 'Azza wa Jalla.

Terlepas dari golongan manakah anda berada, yang kami ingatkan ialah kelompok masyarakat tempat anda melakukan dakwah, mengenai golongan sasaran dakwahnya tidak lagi ditujukan pada usaha perbaikan iman dan menghindarkan kekufuran, tetapi satu-satunya usaha yang mereka lakukan ialah menyalakan api persengketaan di kalangan umat Islam manakala api sudah padam. Mereka seolah-olah melakukan kegiatan perbahasan ilmiah untuk mengungkapkan pokok-pokok fikiran, tetapi tujuan utamanya hanya ingin memperdalam jurang perselisihan dan mengupayakan terjadinya permusuhan dan perpecahan serta menjauhkan pola-pola berfikir yang sihat dalam segala persoalan. Inilah kenyataan yang dapat kita rasakan.

Lalu jalan keluar untuk menyelamatkan umat Islam dari kenyataan ini dan bagaimana cara menghindarkan diri dari sikap-sikap yang menunjukkan pertengkaran, permusuhan, serta perpecahan?

Satu-satunya jalan adalah kembali pada norma-norma ilmiah setiap hendak melakukan kegiatan pembahasan dan jauh dari sikap fanatik atau adanya maksud lain yang mencampuri kemurniaan ilmu pengetahuan.

Dengan cara ini, perselisihan akan lenyap, sedikit demi sedikit, kemudian larut, serta tidak ada kemungkinan bagi para peyelundup dari luar untuk menggiring ke dalam lembah perpecahan, hasad (dengki), dan sakit hati.
Dalam risalah ini, telah kami kemukakan penjelasan yang diperlukan untuk mengetahui mana yang benar dalam permasalahan ini. Telah kami ungkapkan bahawa penulis buku, (Halil Muslimu Multazamun Bittiba'I Madzhabin Mu'ayyanin Minal Madzhaabil Arba'ah) yakni Syeikh Khajandi telah menukil karangan yang tidak benar, bahkan bertentangan dengan kenyataan.

Pembaca pun telah mengetahui bahawa penjelasan para imam yang dinukil oleh Syeikh Khajandi adalah bertolak belakang (bercanggah) dengan apa yang dituduhkan oleh Syeikh Khajandi.

Kami yakin bahawa para pembaca telah mengikuti uraian (penjelasan) kami dalam risalah ini dengan penuh perhatian dan pengharapan.

Demi Allah, orang yang iri dan tidak mempunyai keinsafan, mungkin menuduh kami melakukan pelanggaran dalam pembahasan sekadar iseng serta main-main dalam menukil suatu keterangan, atau kurang proporsional dalam menukil suatu keterangan dan mengemukakan dalil. Oleh kerana itu, kami mengajak pembaca untuk menuntut kebenaran yang selama ini selalu dipegang oleh jumhur kaum muslimin setiap masa. Tegaklah berdiri sebagai pembela dalam mempertahankan kebenaran dengan memerangi segala macam sikap yang berlebihan.

Peringatan manusia (umat Islam yang kita cintai) untuk tidak fanatik kepada madzhab menurut cara-cara seperti yang telah kami jelaskan. Berikanlah keterangan yang kukuh kepada mereka bahawa dalil atau pokok dari segala yang pokok dalam setiap perkara kalau anda dapat memahaminya.

Jangan berdiri di atas kepala untuk menempuh jalan yang berlebih-lebihan kerana sesungguhnya semua itu merupakan pangkal segala musibah dan bencana.

Tiada daya dan kekuatan selain Allah, Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

(Tamat Bab 10: Diskusi Dengan Golongan Bebas Madzhab (Anti Madzhab)
[siap disalin pada pukul 6.15 p.m, Mei 09, 2005]

Nota tambahan:

Al-Ustadz Rasul Dahri banyak menggunakan pandangan Syeikh Muhammad Sulthan al-Ma'shumi Al-Khajandi al-Makki iaitu di dalam kitab Halil Muslimu Multazamun Bittiba'I Madzhabin Mu'ayyanin Minal Madzhaabil Arba'ah untuk menulis bukunya Kembali Kepada Al-Qur'an Dan As-Sunnah: Bahaya Taqlid Buta & Ta'sub Mazhab.. Pada halaman 94, al-Ustadz Rasul Dahri telah menulis: Para ulama Salaf as-Soleh sememangnya telah mewajibkan ke atas setiap mukmin supaya berittiba' (mengikuti dan mentaati) Al-Quran dan as-Sunnah. Mereka menegah dari bertaqlid buta kerana bertaqlid adalah haram di sisi syara' [nota kaki 154: Halil Muslimu Multazamun Bittiba'I Madzhabin Mu'ayyanin Minal Madzhaabil Arba'ah hlm 57. Muhammad Sultan al-Maksumi.

Wallhu'alam.

Petikan dari bab terakhir buku ini:

1. Sebagai penjelasan dalam permasalahan ini, kami ingin menambahkan keterangan untuk lebih memperjelas, iaitu sebagai berikut:

Yang dinamakan bermadzhab adalah seorang awam atau orang yang belum mencapai tingkat melakukan ijtihad, yang taqlid kepada seorang mujtahid (imam madzhab), baik kepada seorang mujtahid beserta madzhabnya atau berpindah ke imam mujtahid yang lain.

Penafsiran terhadap dua kalimat di atas, merupakan penafsiran yang sesuai menurut lughah (bahasa) dan istilah, serta cukup difahami oleh masyarakat. Sama halnya dengan orang yang selalu mengikuti organisasi atau parti, baik mengikutinya secara tetap pada satu organisasi (parti) ke organisasi (parti) lain. Pengikut organisasi tadi disebut orang organisasi atau orang parti. Demikian pula halnya dengan orang yang tidak mengikuti organisasi atau parti apapun, ia disebut orang yang bebas organisasi atau bebas parti.

Hanya saja, Syeikh Nasaruddin Al-Albani menyatakan bahawa kata-kata bermadzhab sebagaimana diuraikan di atas, tidak sesuai dengan apa yang difahami oleh setiap muslim sekarang ini.

Syeikh Nasaruddin al-Albani berkata, "Dengan penafsiran di atas, bererti kami sendiri telah menghapus isi risalah yang kami tulis. Menurut pandangan kami, dengan definisi tersebut bererti semua manusia bermazhab. Jadi perbahasan kami dianggap sebagai prasangka yang tidak ada kenyataannya." Demikianlah ucapan Syeikh Nasaruddin Al-Albani.

Kalau memang demikian halnya pendapat Syeikh Nasaruddin Al-Albani, kami sangat bergembira andaikata orang-orang yang menyatakan dirinya mengikut faham salaf dapat bermadzhab menurut pengertian sebenarnya, iaitu pengertian yang masih belum difahami (dimengerti) oleh beliau bahawa mereka tidak mungkin lepas dari taqlid kepada imam-imam mujtahid yang pendapat dan madzhabnya telah dikutip serta sampai kepada kita sekarang. Dengan demikian, kami tidak perlu menulis pembahasan ini.

Akan tetapi, sayang sekali apa yang telah dikemukakan oleh Syeikh Nasaruddin Al-Albani tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Kenyataan menunjukkan bahawa mereka yang kami inginkan mendapat petunjuk yang benar, tidak mahu taqlid kepada sesiapapun dari para imam madzhab yang empat. Mereka harus langsung mengambil hukum dari Al-Qur'an Al-Karim dan As-Sunnah Rasullah SAW.

Kami telah melihat sendiri bahawa orang-orang awam dari mereka, yang boleh dikatakan buta huruf (tidak mengerti dan membaca bahasa arab) sama sekali, tidak mahu menerima fatwa-fatwa dari kempat imam madzhab sebelum kami mengungkapkan dalil-dalil yang dipegang oleh para imam serta hadith yang dijadikan pedoman fatwa Imam Hanafi, Maliki, Asy-Syafi'I, dan Ahmad bin Hanbal Rahimahumullah.

Bahkan kami harus menjelaskan kekuatan dalil yang dijadikan pegangan serta sahih tidaknya dalil tersebut. Kami pun harus menjelaskan sanad hadith berikut para perawinya, seolah-olah mereka menguasai ilmu sanad dan rijalul hadith.

Setelah itu, barulah mereka menentukan sikap, iaitu membenarkan madzhab-madzhab para imam tersebut atau sebaliknya, yakni menanggap salah dan bahkan membodoh-bodohkan imam-imam madzhab Na'udubillaahi min dzalik.

Demikian pula halnya dengan Syeikh Khajandi (Muhammad Sulthan Al-Ma'shumi al-Khajandi Al-Makki) yang disebut-sebut oleh Syeikh Nasiruddin Al-Albani sebagai seorang yang sangat alim dan ia bela risalahnya (Halil Muslimu Mulzamun Bittibaa'i Madzabin Mu'ayyanin Minal Madzaahibil Arba'ah). Syeik Khajandi dalam risalahnya berkata: "Untuk menghasilkan ijtihad, sebenarnya sangat mudah. Ia tidak memerlukan lebih dari kitab Al-Muwaththa', Sahih Al-Bukhari dan Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i. Kitab-kitab tersebut sudah cukup dikenal lagi popular, dan dapat diperoleh dalam waktu singkat."

Kemudian ia (Syeikh Khajandi) berkata lagi, "Apabila terdapat beberapa riwayat dari Rasulullah SAW tentang suatu masalah, sedangkan engkau tdak mengetahui mana riwayat yang lebih dahulu dan mana yang kemudian, serta tarikh pun kurang jelas, kamu harus mengamalkan semuanya. Yakni pada satu saat mengamalkan yang satu dan pada saat yang lain mengamalkan riwayat lain."

Demikianlah ucapan Syeikh Khajandi dalam risalahnya. Ucapan Syeikh Khajandi tersebut jelas tidak mencerminkan pengertian bermadzhab menurut penjelasan yang telah kami kemukakan. Dengan ucapan tersebut, dia telah menutup jalan bagi semua orang untuk mengikuti imam-imam madzhab lantaran di hadapan mereka sudah tersedia Al-Muwathta' Imam Malik, Sahih Al-Bukahari dan Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At-Tirmidhi, dan A-Nasa'i. Semua kitab ini menurut pernyataan Syeikh Khajandi adalah kitab-kitab yang sudah terkenal dan popular serta dapat diperoleh dalam waktu singkat. Jadi, tidak diperlukan lagi taqlid kepada sesiapapun dari imam-imam madzhab.

Kami ingin menyatakan, barangkali Syeikh Nasaruddin Al-Albani mengetahui bahawa semua imam termasuk di dalamnya Ibn Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaukani telah sepakat bahawa dengan sekadar memperoleh (mempelajari) kitab-kitab tersebut di atas, tidak mungkin seseorang menjadi mujtahid. Dalam melakukan fatwa dan istinbath, tidak cukup sekadar berpegang pada kitab-kitab tersebut, tetapi dia pun harus melengkapi syarat-syarat ijtihad yang lain, sehingga ia mencapai darjat mujtahid. Hal ini memang sangat berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh orang yang dikatakan sangat alim, iaitu Syeikh Khajandi dalam risalahnya.

Dengan tambahan penjelasan yang cukup panjang ini, kiranya dapat diketahui bahawa adanya risalah yang mengupas tentang masalah madzhab tetap sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin.

2. Menurut pendapat Syeikh Nasaruddin Al-Albani bahawa kitab risalah Syeikh Khajandi terdapat sejumlah kata yang dapat memperbaiki pengertian yang salah terdapat dalam susunan kata-kata yang kami sebutkan di atas.

Sejumlah kata dimaksud ialah ucapan Syeikh Khajandi pada halaman 29 iaitu: "Ketahuilah! Bahawa mengambil pendapat ulama dan qiyas mereka, kedudukannya adalah ibarat tayammum. Tayammum itu diperbolehkan manakala tidak ada air. Begitu pula halnya kalau sudah ada nas-nas Al-Kitab dan As-Sunnah serta ucapan para sahabat, wajib mengambilnya dan tidak boleh pindah pada pendapat para ulama."

Demikianlah pernyataan Syeikh Nasaruddin Al-Albani yang dikemukakan dalam diskusi dengan kami.

Sebenarnya kami sudah melihat kata-kata Syeikh Khajandi ini, tetapi menurut pendapat kami, kata-kata tersebut justeru menambah kemusykilan yang lebih ruwet tak terlepas dari satu kesulitan dan jatuh dalam kesulitan lain.

Di hadapan kita memang sudah ada kitab-kitab Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, dan kitab-kitab hadith lainnya. Akan tetapi, bila seluruh umat Islam memahami langsung hukum agama mereka dari nas-nas yang ada di dalamnya, apa yang akan terjadi? Tiada lain ialah kekusutan dalam mengamalkan ajaran agama.

Imam Ibnul Qayyim dan hampir semua para ulama dan imam-imam Rahimahumullah telah menyatakan, "Adanya kitab-kitab Sunan yang lengkap tidak cukup sebagai bekal utuk sahnya suatu fatwa.
Di samping itu, harus ada kemampuan melakukan istinbath dan keahlian dalam membahas serta meneliti suatu masalah. Bila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, kewajiban orang tersebut ialah seperti yang difirmankan Allah 'Azza wa Jalla berikut:

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui."
(Q.S An-Nahl[16]:43)

Demikianlah yang ditegaskan oleh para ulama dan imam termasuk Ibnul Qayyim.

Adapun menurut Syeikh Khajandi dan Syeikh Nasaruddin Al-Albani, kalau nas-nas Al-Kitab dan As-Sunnah sudah ditemukan, demikian juga ucapan (atsar) para sahabat, wajib bagi umat muslim untuk berpegang padanya dan tidak boleh pindah pada pendapat para ulama.

Dalam hal ini, sudah tentu terserah siapa yang harus dipercaya. Apakah ijma' para ulama, di antaranya termasuk Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain, ataukah pendapat Syeikh Khajandi dan Syeikh Nasaruddin Al-Albani.

Di samping itu, cubalah renungkan ucapan Syeikh Khajandi ini, maka akan terlihat jelas kebodohannya. Dia menggambarkan bahawa para imam tersebut dalam menegakkan ijtihadnya yang boleh diikuti kaum muslimin, mereka hanya berpendirian pada pendapat dan fikiran mereka semata-mata dan sama sekali tidak berlandaskan dalil nas-nas Al-Qur'an dan Al-Hadith. Ijtihad seperti inilah yang boleh ditaqlidi, dan itulah tayammum yang dilakukan.

Itulah ucapan Syeikh Khajandi, padahal sebenarnya ijtihad para imam tersebut tidak mungkin terjadi dan tidak sah bila tidak berdasar (berlandaskan) dalil nas-nas AlQur'an dan Al-Hadith.

Seorang imam yang melakukan ijtihad dalam suatu masalah agama tanpa didasari Al-Kitab dan As-Sunnah Rasululah SAW bererti telah menambah-nambah urusan agama dan hasil ijtihadnya bukanlah merupakan syariat agama. Dengan demikian, setiap orang Islam tidak boleh mengikuti imam tersebut.

Imam Asy-Syafi'I r.a. telah mengatakan dalam kitabnya Ar-Risalah sebagai berikut:

Setelah Rasulullah SAW., Allah tidak memperkenankan kepada seorang pun untuk berpendapat, kecuali berlandaskan ilmu yang sudah lewat atau sesudahnya, iaitu Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Ijma' Al-Atsar, dan Al-Qiyas (apa-apa yang boleh diqiyaskan kepadanya). Kemudian seseorang tidak boleh melakukan qiyas, kecuali bila ia sudah cukup alat-alat yang diperlukan untuk melakukan qiyas, iaitu mengetahui hukum-hukum kitab Allah, berapa fardunya, adabnya, nasikh-mansukhnya, 'aamnya, khaashnya, dan irsyadnya."

Kita mengetahui bahawa dalam urusan ijtihad, qiyas banyak digunakan untuk melakukan istinbath. Padahal qiyas itu sendiri tidak sah bila tidak berdasarkan pada nas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta ucapan para sahabat. Ucapan sahabat itu pada hakikatnya termasuk bahagian dan macam-macam sunnah, kecuali dalam urusan-urusan yang dimungkinkan sebagai pendapat peribadi.

Kemudian Syeikh Khajandi pun menggambarkan pula bahawa kebodohan terhadap hukum syariat itu disebabkan tidak adanya nas. Apabila nas sudah ditemukan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, sebab-sebab kebodohan tersebut sudah tidak ada dan kedudukan semua manusia adalah sama dalam kemungkinannya memahamii hukum syariat. Oleh kerana itu, tidak perlu lagi taqlid kepada imam-imam madzhab. Demikian huraian Syeikh Khajandi.

Lalu pantaskah bagi orang yang mengerti betul tentang nas dan cara-cara istinbath berkata demikian?

Apa ertinya ucapan Syeikh Khajandi, "Di mana saja orang mendapatkan nas Al-Kitab dan As-Sunnah serta ucapan para sahabat, ia wajib mengambilnya dan tidak boleh beralih pada ucapan para ulama."

Kemudian apa perlunya tayammum kalau ucapan Syeikh Khajandi seperti demikian? Adapun Syeikh Nasiruddin setelah kami memberikan komentar terhadap ucapan Syeikh Khajandi di atas, dia menyatakan, "Sebenarnya pada ucapan Syeikh Khajandi tersebut, ada kata-kata yang tersirat. Mesti ditambahkan kata-kata: bila menemukan nas tersebut sudah sampai ke tingkat kemampuan melakukan istinbath. Akan tetapi, setelah kami katakan kepadanya bahawa kata-kata: 'di mana saja' mempunyai erti umum, Syeikh Nasiruddin menjawab, "Ucapan Syeikh Khajandi yang mengandung makna umum harus diertikan secara khusus."

3. Bandingkan ucapan Ibnul Qayyim dengan apa yang didakwahkan oleh penulis kitab bahawa ijtihad adalah soal yang mudah dan tidak memerlukan apa-apa, kecuali kelengkapan kitab-kitab hadith dan Al-Muwaththa' Imam Malik. Dan pendapatnya (Syeikh Khajandi) bahawa apabila dalam hadith-hadith terdapat pertentangan, seseorang boleh mengamalkan salah satunya pada suatu saat dan saat lain boleh mengamalkan yang lain pula.

4. Apa yang kami telah sebutkan di atas menjelaskan bahawa di kalangan para sahabat tabi'in, tabi'it-tabi'iin dan orang-orang sesudahnya ada orang-orang yang menetapi imam madzhab tertentu dan tidak pindah pada yang lain. Dan menunjukkan pula bahawa berpegang satu madzhab saja tanpa berpindah-pindah pada madzhab lain merupakan hal yang sudah berjalan tanpa ada larangan dari sesiapapun, baik di kalangan para sahabat sendiri, tabi'it-tabi'in, dan generasi sesudahnya.

Dengan demikian, bukankah pendapat yang mengharamkan seseorang menetapi terus menerus seorang imam atau madzhab tersebut adalah bid'ah dalam agama dan menambah-nambah agama?

Namun demikian Syeikh Nasaruddin, dalam diskusi dengan kami menanyakan dalil yang ada dalam risalah kami yang menganggap bahawa bebas madzhab adalah bid'ah dan juga menanyakan dalil bahawa di kalangan para sahabat dan tabi'in terdapat orang-orang yang menetapi seorang imam saja.

Untuk menjawab pertanyaan Syeikh Nasaruddin Al-Albani, kami pun bertanya kepadanya, "Apakah Tuan sudah membaca risalah kami (Al Laa Madzhabiyyatu Akhtharu Bid'atin Tuhaddidusy Syarii'atal Islaamiyyah)?

Beliau menjawab, "Insya Allah." Kami tidak mengerti apa maksud beliau mengucapkan, "Insya Allah." Apakah ucapan tersebut sekadar untuk tabarruk (mengharapkan berkah dengan ucapan tersebut, yang bererti beliau membaca) atau dengan maksud ta'lig (akan membacanya kalau memang dikehendaki oleh Allah SWT.)

Syeikh Nasaruddin menyatakan "Insya Allah telah membaca risalah," tetapi beliau tidak melihat bahawa dengan tugas fatwa yang hanya diberikan oleh khalifah kepada Atha' bin Rabah dan mujtahid di Mekah tanpa ada seorang pun yang ingkar, hal itu menunjukkan ada ijma' bahawa menetapi suatu madzhab tertentu memang disyariatkan, dan pendapat sesudahnya yang mengharamkan hal tersebut adalah bid'ah dan tidak diizinkan oleh Allah SWT.

Syeikh Nasaruddin Al-Albani menyatakan, "Insya Allah telah membaca risalah," tetapi beliau tidak melihat bahawa dengan berpegang teguhnya penduduk Iraq pada mazhab ahli Ra'yu yang dicerminkan oleh Abdullah bin Mas'ud r.a. dan murid-muridnya merupakan bukti bahawa berpegang pada madzhab tertentu memang dilaksanakan. Demikian pula yang terjadi di Hijjaz yang selalu menetapi madzhab Abdullah bin 'Umar r.a.

Syeikh Nasaruddin Al-Albani telah membaca risalah kami, tetapi tidak melihat bahawa adanya berjuta-juta umat manusia yang memeluk madzhab empat (hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali) yang merupakan bukti ijma' yang nyata bahawa mengikuti madzhab imam tertentu bukanlah haram atau makruh dan bukan pula bid'ah dalam agama.

Beliau mungkin berpura-pura tidak mengetahui dalil-dalil yang cukup jelas ini dan menyatakan haram bermadzhab pada madzhab tertentu dan menganggapnya bid'ah yang tidak berdasar agama.

Akan tetapi, menurut pendapat kami, bukti-bukti yang telah kami kemukakan dapat menyatakan bahawa anjuran agar manusia bebas madzhab merupakan bid'ah yang paling berbahaya yang akan menghancurkan syariat Islam, khususnya pada waktu sekarang ini kerana manusia banyak dikuasai hawa nafsunya.

5. Sesungguhnya bukanlah persoalan bagi kita andaikata golongan bebas madzhab mempunyai ijtihad sendiri dalam hukum syariat islam yang berbeda dengan ijtihad sebahagian besar imam madzhab. Hal ini kerana mungkin juga di antara mereka ada yang mampu membahas masalah fiqih dan melakukan ijtihad menurut kemampuannya.

Sungguh, kadang-kadang kami memperhatikan bahawa pendapat mereka berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Kami lebih mengutamakan jumhur kerana kami melihat bahawa mereka tidak mampu berijtihad sebagaimana para jumhur ulama. Akan tetapi, pendapat mereka yang tidak sesuai dengan jumhur tidak perlu kita jadikan bahan untuk pertengkaran dan permusuhan.

Bukanlah urusan yang perlu dipersoalkan andaikata ada orang yang solat dengan mengerak-gerakkan telunjuknya waktu duduk tahiyat atau lebih mengutamakan solat tarawaih delapan rakaat, atau memandang wajib qadha' bagi orang yang sengaja meninggalkan solat fardhu. Sesungguhnya, di antara imam dan para fuqaha, ada juga yang berpendapat demikian. Bukan masalah baru pula dalam tarikh Islam kalau ada orang yang mengaku dirinya mujtahid, kemudian menciptakan sendiri madzhab fiqih untuk mereka, baik ia mampu untuk melakukan ijtihad atau tidak.

Akan tetapi, hal yang kita ingkari dan sangat memprihatinkan ialah kelompok bebas madzhab (anti madzhab) telah menggunakan pendapat mereka sebagai senjata untuk memerangi imam-imam madzhab. Dengan senjata itu pula, mereka memutuskan hubungan antara imam-imam madzhab dengan kaum muslimin, serta mengobarkan fitnah dalam masjid-masjid, dan tempat lain, dan di mana saja yang memungkinkan untuk menyebarkan fitah.

Mereka tinggalkan dakwah dan seruan kepada Allah dan agama-Nya yang telah dibawa dan dicontohkan oleh Rasul-Nya, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW. Mereka tinggalkan orang-orang yang telah menyimpang dan tersesat dari ajaran Islam dan mereka alihkan kegiatannya untuk memusuhi orang-orang yang seagama, tetapi berbeda pendapat dengan mereka, atau orang-orang yang berpegang teguh dengan imam-imam madzhab.

Mereka mengajak orang-orang yang tidak mampu untuk berdebat dan menuduh sesat kepada pengikut-pengikut imam-imam madzhab, bahkan membodoh-bodohkan para imam serta menyebut-nyebut kitab madzhab sebagai dokumen yang berkarat dan menyimpang.

Apabila melihat seseorang memegang tasbih untuk menghitung wirid, mereka cepat-cepat menuduh sesat dan bid'ah. Bila ada muadzdzin membaca selawat kepada Rasulullah SAW setelah adzan, mereka menuduhnya syirik. Bila melihat orang solat terawih 20 rakaat, mereka membuat keriuhan dalam masjid sehingga terjadilah hiruk-pikuk suara omongan kotor serta keji.

Kami masih teringat suatu peristiwa di malam Ramadhan ketika sekelompok orang awam, kurang lebih lima belas orang, datang menghadap kami setelah Isya. Dari wajah mereka dan suara-suara yang terdengar, tampak bahawa mereka baru saja bertengkar. Mereka datang meminta bantuan agar kami dapat menghentikan keributan dalam masjid disebabkan ada seseorang di masjid yang mengharamkan solat terawih lebih dari delapan rakkat sehingga terjadilah keributan dan masjid berubah menjadi tempat perkelahian.
Apa sebenarnya yang memberatkan mereka kalau kita solat tarawih dua puluh rakaat kerana kita taqlid kepada seorang imam, sebagaimana mereka juga sesukanya solat tarawih delapan rakaat?

Kalau menganggap dirinya mampu memahami hukum syariat dari Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa taqlid kepada imam madzhab, silakan mencipta madzhab baru di samping madzhab empat yang sudah mu'tabar, untuk membukukan sepuluh masalah saja dari urusan ibadah dan silakan mereka meninggalkan fiqih para imam madzhab sesuka hati mereka.

Akan tetapi, satu hal yang patut disayangkan, mengapa mereka bersikap sinis kepada yang lain dengan membodoh-bodohkan dan menyesatkan para pengikut madzhab empat? Serta menghina para imam madzhab empat dan kitab-kitab mereka?

Untuk apa mereka mengadakan majlis dengan mencaci-maki dan menghina Imam asy-Syafi'i Radhiyallahu 'Anhu, lantaran fatwa beliau yang mengesahkan seorang laki-laki menikahi anak perempuan darah dagingnya sendiri, tetapi dengan cara zina? Padahal kalau ia mahu membaca keterangan Imam Asy-Syafi'I tentang masalah tersebut dalam kitabnya Al-Umm, dia akan tahu kebodohannya sendiri.

Akan tetapi, seorang seperti Syeikh Nasiruddin Al-Albani mungkin menyatakan bahawa ia sedikit pun tidak mengurangi kedudukan para imam dan tidak akan menganggap buruk terhadap madzhab-madzhab.

Memang kadang-kadang dia menyatakan demikian dalam suatu majlis, tetapi kenyataan yang ia perbuat tidak sesuai dengan apa yang ia katakan.

Orang yang benar-benar menghormati para imam madzhab empat dan menghargai jerih payah mereka dalam mengungkapkan hukum syariat Islam dan mengoreknya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tidak mungkin berkata mengomentari (mengulas) hadith turunnya Nabi Isa a.sa sebagai berikut:

"Hal ini jelas bahawa Nabi Isa a.s. akan berhukum dengan syariat kita dan memutuskan sesuatu dengan kitab dan sunnah, tidak dengan lainnya baik Injil atau fiqih Hanafi dan semacamnya."

Harap pembaca dapat merenungkan ucapan Syeikh Nasaruddin di atas, "Tidak dengan lainnya, baik Injil, atau fiqih Hanafi, dan semacamnya." Dengan ucapan tersebut, ia mempunyai keyakinan bahawa Fiqih Hanafi sama seperti kitab Injil, iaitu kitab yang tidak ada hubungannya dengan syariat Islam, Al-Qur'an, dan As-Sunnah.

Adakah seorang Muslim yang tidak mengetahui bahawa Fiqih Hanafi merupakan hukum Islam yang diambil (bersumberkan) dari Al-Quran, As-Sunnah, dan juga Qiyas?
Apakah ia tidak mengetahui bahawa dalam mengungkapkan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, Imam Abu Hanifah r.a. semata-mata bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jala, dan bukan mendekatkan diri kepada syaitan untuk membuat fiqih tandingan kemudian bersamaan dengan Injil dihadapkan pada Al-Quran. Meskipun harus diakui juga bahawa Imam Abu Hanifah kemungkinan salah dalam melakukan ijtihadnya.

Kemudian, siapakah yang berkata seperti ini? "Sesungguhnya Nabi Isa a.s. esok akan datang ke dunia, tetapi pengetahuan beliau tentang Kitab dan Sunnah lebih lemah daripada Syeikh Nasaruddin, sehingga beliau tidak mampu berijtihad sendiri dan terpaksa taqlid kepada para imam dalam hukum syariat, dan di antara imam-imam tersebut yang beliau pilih adalah Imam Abu Hanifah.

Betulkah ada di kalangan pengikut Hanafi yang berkata demikian? Semestinya Syeikh Nasaruddin menyebutkan orang yang berkata demikian dan menunjukkan letak ucapan tersebut dengan penjelasan ilmiah, yang setiap orang pasti dapat mengutamakannya, bahawa Nabi Isa a.s. mampu mengambil hukum syariat dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Kemampuan ini pasti dimilikinya kerana sesungguhnya beliau adalah utusan Allah SWT. Jadi, dalam hal ini bukan pada tempatnya kalau Nabi Isa a.ss taqlid kepada para imam madzhab.

Sungguh kalau bukan pekerjaan yang bersifat ilmiah dan sesuai dengan Islam, kalau Syeikh Nasaruddin Al-Albani menyeludupkan ucapan di atas ke dalam kitabnya, kemudia dia membantahnya dengan maksud mendiskreditkan Fiqih Hanafi dan menganggapnya bukan Syariat Islam seperti Injil.

Bila pembaca berasa keberatan atas ucapan di atas yang keluar dari mulut seorang muslim, kami persilakan membaca kitab ringkasan (mukhtashar) Sahih Muslim susunan Imam Al-Mundziri, kemudia bacalah catatan-catatan kakinya yang ditulis oleh Syeikh Nasaruddin pada halaman 308.

Kepada yang mengedarkan kitab ini, telah diberi peringatan oleh seorang tokoh ulama mengenai ucapan yang sangat munkar ini dan diperintahkan untuk membuang kalimat tersebut pada cetakan akan datang.

Kami mengetahui, apakah penerbit kitab tersebut tetap akan memuat ucapan yang sangat berbahaya atau akan menghapusnya?

6. Kami mengetahui bahawa penulis kitab(Syeikh Khajandi) termasuk orang-orang yang tidak memandang Imam al-Ghazali Rahimahumullah dan tidak mengakui keutamaan beliau dan ilmunya. Bahkan, di antara tokoh mereka, ada mengumpat-umpat dan memandang beliau telah keluar dari agama Islam, sesat, dan menyesatkan serta menyeleweng. Jadi, kalau mereka mengutip ucapan Imam Al-Ghazali untuk dijadikan bukti atas kebenaran pendapat mereka, hal itu sekadar usaha untuk mencari pengakuan dari lawan dan bukan bererti menyetujui pendapat Imam Al-Ghazali.

(Tamat bab terakhir, bab 16: Catatan Akhir)

Tajuk Buku Asal:"Alla Madzhabiyyatu akhtharu Bid'atin Tuhaddidu Asy-Syarii'ata Al-Islaamiyyah", karya Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buuthi.

Telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang boleh difahami rakyat Malaysia dengan tajuk "Pegangan Tak Bermadzhab Bid'ah Terbesar Yang Menggugat Syariat Islam".
--
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Friday, August 21, 2009

Tasyakkur pada tanggal 1 Ramadhan

Semoga Allah memberikan Cahaya Hidayah kepada kita semua amiiin.

Menyambut bulan suci Ramadhan yang penuh dengan rahmat Allah dan segala kemurahan keberkahan fadhilah ini, perkenankanlah al-faqir ini untuk berceloteh membagi nikmat Allah dan mengajak untuk mensyukurinya.

Saat ini Allah begitu sayang kepada al-faqir ini, karna Allah memberikan berbagai ilmu pengetahuan yang sangat bernilai melalui buku-buku yang dibaca dan berbagai ayat-ayat Allah yang terlihat.

Pada setiap saat kita shalat, kita selalu memanjatkan doa kehadirat ilahi rabbi agar senantiasa Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan orang yg diberi petunjuk dan bukan jalan orang yang dimurkai dan sesat (alfatihah),

Salah satu tafsir ayat tersebut yang dimaksud orang yang dimurkai adalah orang yang telah mendapatkan berita akan kebenaran al-qur'an dan rasulullah akan tetapi mereka mendustakannya (berpaling), maka Allah murka terhadapnya, dalam hal ini terdapat orang yang berpaling dari kebenaran karena gengsi, karna terlanjur membela suatu kelompok dan telah dimulyakan, karna berhutang budi atau jasa pd seseorang yg dia loyal kpdnya, karna terkalahkan oleh hawa nafsu cinta pada keduniaan sehingga meninggalkan kebenaran tersebut, dan ada pula yang takut kehilangan popularitas karna telah masyhur sebagai seorang alim yg telah diikuti oleh banyak orang, atau mungkin malu apabila kalah dlm argumentasi atau hal-hal yang lain. Golongan maghdzuub (yang dimurkai) ini lebih dibenci dan dimurkai Allah dari pada golongan yang dzolin (sesat) yang kedua.

Adapun maksud dari orang yang dzolin (sesat) adalah golongan orang yang tidak tahu kebenaran, dan tidak mendapatkan hidayah, karena ketidak-tahuan mereka, maka mereka inkar akan ayat Allah, melakukan kesalahan yang dilarang oleh Allah, berfatwa dengan sesuatu yg salah tapi diyakininya sebagai suatu kebenaran, melakukan sesuatu yang diyakini benar yang pada hakikatnya adalah salah, ini adalah golongan orang yang sesat, oleh sebab itu kita berlindung kepada Allah dari golongan orang dzoolin ini agar diberikan petunjuk dan Hidayah Allah. Jika Allah menghendaki maka golongan dzolin ini akan diberikan hidayah dan jika Allah menghendaki maka Allah akan adzab dan ditetapkan sebagai orang kafir yang sesat karna ketidak tahuannya atau ketidak-mau-tahu-an-nya kepada kebenarannya.

Adapun golongan yang diberikan petunjuk, atau golongan yang kita selalu memintanya kepada Allah (shiratol mustaqim) adalah golongan orang-orang yang diberikan kenikmatan atas mereka, nikmat sejati adalah nikmat syurga dan keridhoan Allah kelak di akhirat, oleh sebab itu merupakan kenikmatan terbesar di dunia ini adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan kita mendapatkan nikmat hakiki kelak, yaitu nikmat iman, nikmat islam, nikmat hidayah, nikmat kasih sayang Allah baik sesuatu yang kita senangi ataupun kita tidak senangi di dunia ini, jika kita masih diberikan kenikmatan bersyukur, berkhusnudhon, bertaqwa dan bertawakkal sampai kita wafat dalam keadaan husnul khatimah, maka itulah nikmat yang terbesar dalam hidup.

Terahir masalah jalan orang islam yang telah meyakini kebenaran Al-qur'an maupun Hadits yang kita yakini kebenaran keduanya, telah bersepakat bagi seluruh orang yang beriman dalam hatinya, bahwa Al-qur'an adalah seratus persen benar dan demikian pula al-hadits Rasulullah SAW. Namun demikian terdapat perbedaan orang yang memahami dan menerima Al-qur'an dan hadits tersebut, ada dua kemungkinan pada setiap manusia dalam memahami al-qur'an dan sunnah yaitu kemungkinan benar dan kemungkinan salah, nah inilah yang terjadi pada setiap diri manusia selain Rasulullah SAW.

Oleh sebab itulah adanya perbedaan pendapat, dari berbagai ulama' mereka semuanya tidak ma'sum pemahamannya, semuanya berkemungkinan benar atau salah, jadi sungguh kita tidak bisa mengatakan imam besar mujtahid itu benar 100 persen itu sudah diketahui, akan tetapi kita juga tidak bisa melarang seseorang mengikuti mujtahid, dikarnakan dia tidak ma'sum, karna kita pun tahu kalau kita tidak mengikuti Mujtahid pun, kemudian kita langsung memahami al-qur'an dan hadits sendiri, tidak ada yg menjamin bahwa pemahaman kita ma'sum (pasti benar 100 persen). Demikian pula pemahaman orang yang melarang mengikuti mujtahid, adalah ada kemungkinan salah dan benar, tidak ada yg maksum (terjaga dari salah) dalam pemahaman terhadap Al-qur'an dan Hadits siapapun orangnya selain Rasulullah SAW. Bahkan penetapan shahih, hasan, dhoif atau maudhu'nya suatu hadits pun juga hasil penelitian ulama' bisa kemungkinan benar dan bisa kemungkinan salah pula yang kita taklid padanya.

Tunjukkanlah kami ke jalan yang benar, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri petunjuk (alfatihah)
Mari kita berlindung dari Allah dari golongan yg dimurkai dan golongan yg sesat
wallahu a'lamu bi showab.
By : Komarudin Evendi (KSA)
--
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Tuesday, August 11, 2009

Anda semua adalah saudaraku.

Begitu banyak golongan maupun gerakan maupun kelompok kaum muslimin yang memiliki cirri berlainan antara satu sama lain, ada yang nyata-nyata mengaku dan menamakan diri sebagai kelompok atau madzhab tertentu, ada pula yang tidak mau disebut sebagai suatu kelompok namun memiliki cirri has tersendiri, yang membuatnya dijuluki dengan nama tertentu atau julukan sesuai dengan cirinya tersebut.

Pertama yang kita yakini bersama adalah Islam sebagai agama yang benar dan telah sempurna, Muhammad SAW adalah sumber kudwah hasanah, kemudian Ahlussunnah yang mengakui kemulyaan salafussholih, sementara Syi'ah yang mengingkari sebagian sahabat, dan Islam Liberal yang memahami Al-qur'an dan assunnah disesuaikan dengan zaman dan akal,  kemudian pecahan dari Ahlussunnah wal jama'ah adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh ahmad Dahlan, kemudian Nahdzatul Ulama yang didirikan Hasyim asy-'ari keduanya adalah hanya organisasi pergerakan.

Kemudian disusul dengan PKS yang merupakan partai islam disamping PKB, PAN PBNU dan lain sebagainya, namun partai-partai ini mewakili organisasi islam, seperti PKS adalah didominasi oleh Ihwanul Muslimin, PKB didominasi oleh warga NU awalnya, PAN identik dengan warga Muhammadiyah dll. Demikianlah sekilas cabang islam yang kita ketahui bersama.

Adapun terdapat organisasi baru yang menamakan sebagai Hidayatullah, Wahdatul Islamiyah, Darus Hadits, LDII, HTI lemkari disusul Salafy (yang juga disebut Wahabi) dan masih banyak lagi gerakan da'wah yang mengaku paling sesuai dg al-qur'an dan hadits. Empat madzhab besar pemikiran dalam islam yg juga sebagai cirri da'wah adalah Hanafi, Maliki, Syafi'ie dan Hambali, juga merupakan cirri has golongan tertentu.

Masing-masing dari organisasi islam tersebut adalah mengaku yang paling sesuai dg al-qur'an dan assunnah, sesuai yang dibawa oleh Rasulullah SAW, namun hanya bukti yang bisa menjadi acuan kebenarannya, akan tetapi semuanya pun mengeluarkan bukti yang "benar" menunjukkan bahwa mereka adalah ahlussunnah, sesuai ajaran Rasulullah dan faham (manhaj) salafussholih, tentunya jika dilihat dari tubuh organisasi itu sendiri, dan sebaliknya mereka menganggap yang lain adalah kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai ajaran islam yg murni, bahkan yang lebih parah adalah menganggap kafir dan sesat diluar golongannya.

Baiklah dalam artikel ini, penulis tidak mewakili organisasi apa dan memposisikan dimana, namun penulis hanya mengajak agar kiranya kita renungkan fenomena ini semua, tidak ada yang bisa menjamin kebenaran sejati kecuali Allah, diposisi manapun kita (anda atau saya) berdiri dan kecenderungan dalam berkelompok, namun satu hal yang perlu kita sepakati adalah Islam agama kita, Muhammad SAW adalah Nabi kita, Salafussholih adalah Manhaj kita, selagi golongan manapun dalam islam yang memiliki prinsip yg sama dan mampu membuktikannya, maka tidak ada alasan kita menganggapnya sesat kecuali hanya karna tidak sama dg kita, dan alasan ini adalah berbahaya karna akan membawa pd permusuhan dan perpecahan, boleh jadi dia lebih selamat dari kita.

Digolongan manapun kita berada, cukuplah kita membuktikan bahwa yang kita lakukan adalah berdasar Qur'an dan Hadits serta pemahaman salafussholih, tak perlu pula kita membuktikan golongan diluar kita sesat dan tidak sesuai Qur'an dan hadits serta salafussholih kecuali kita menjawab pertanyaan atas alasan kita mengikuti sebuah pendapat yg kita anggap benar, karna dalam agama juga terdapat yang disebut Ijtihad, sebaiknya kita menghargai ijtihad orang lain, sebagaimana perkataan para mujtahid "Mungkin pendapat saya benar tapi mengandung kesalahan, dan mungkin pendapat orang lain salah namun mengandung kebenaran".

Mari kita menjaga lisan kita dari menganggap bid'ah, sesat, kafir, syirik, zindik dan lain sebagainya, walaupun nyata-nyata sesat menurut pandangan kita, namun jika masih bersyahadat yang sama dan tidak mencela sahabat Rasul, maka mereka adalah saudara kita yg mungkin mereka lebih benar dari pada kita yg menuduh. Berhati-hati menghukumi orang yg bersyahadat adalah salah satu cirri ajaran yang benar, cirri ahlussunnah wal jama'ah. Dan bahkan pemeluk agama islam yg meyakini syahadatnya merupakan orang yg selamat walaupun bergolongan apapun dia berada, sungguh Allah maha tahu bagi siapa saja hambaNYA yg ingin benar-benar meniti jalan yang lurus dg penuh rasa khasyiah (takut pd Allah). Jikalau hamba tersebut masih dlm perjalanan mencari kebenaran, Allah Maha Mengampuni asalkan syahadatnya telah syahadat Islam. Ihdina as-shirathal Mustaqim. Anda semua para pengucap syahadat adalah Saudaraku.

Wallahu a'lamu bishowab.

--

Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us