Friday, March 27, 2009

Masalah Bid'ah

Pembahasan Bid'ah

Pertama Marilah kita terlebih dahulu mendefinisikan kata bid'ah, karna jika dilihat dari pemahaman yang menyebar didalam masyarakat, maka akan kita dapati pemahaman yang bermacam-macam tentang bid'ah ini, oleh sebab itulah tak jarang karna pemahaman yg bermacam ini, maka menimbulkan perselisihan antara satu dengan yang lainnya, dan dalam hal ini penulis akan berusaha untuk objektif dalam menyaring segala pemahaman yang diketahui untuk menambah deretan pemahaman yang sudah bermacam2 tentang bid'ah ini

Definisi Bid'ah

Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).

Para ulama salaf telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.

Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.

Ibnu Rajab, Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa

Imam as-Suyuthi, beliau berkata, Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.

Bid'ah secara lughowi (etimologi) berasal dari bahasa arab yang artinya Mengadakan perkara baru. dan yang dimaksud adalah berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Berangkat dari Hadits Rasulullah SAW sebagai pedoman bagi setiap muslim, hadits tersebut berbunyi :

Dari Jabir bin 'Abdillah rodhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam suatu khuthbahnya: "Ammaa ba'd, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitaabullaah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Muslim no.867)

Kemudian disisi lain kita akan dapati pula hadits berikut ini :

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya"(Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban)

Kedua hadits tersebut atau hadits yang semisal akan keduanya, adalah sama-sama sabda rasulullah SAW yang bisa dipertanggungjawabkan keshohihannya. Tetapi antara yang pertama dan yang kedua akan kita temukan kesamaan dan perbedaan sedikit yang perlu penjelasan dengan gamlang, persamaannya adalah dalam hal mengomentari perkara baru (bid'ah), di hadits pertama semua perkara baru adalah sesat, di hadits yang kedua "siapa yang membuat perkara baru dlm kebaikan berpahala".

Tentu kita tidak akan mengatakan bahwa Rasulullah tidak konsisten atau plinplan, (naudzubillah min dzalik) karna perkataan beliau seolah terlihat kontradiksi, sementara masih banyak lagi dalil-dalil, baik dari hadits maupun al-qur'an yang apabila kita memahami secara tekstual  (harfiah) dan tanpa diikut oleh penjelasan para ulama' maka akan kita dapati bahwa dalil-dalil tersebut bertentangan satu sama lain, oleh sebab itu kita membutuhkan ulama' untuk menjelaskan dalil2 tersebut itulah sebabnya ada kaidah al-aamul makhsus dll, dan itu pulalah yg dipercaya golongan yg ingin selamat, akan berusaha dan menyatakan dirinya sebagai mengikuti salafussholih dlm manhaj (pemahaman).

Imam syafi'ie membedakan bid'ah menjadi dua yaitu bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dholalah (sesat) sebagaimana perkataan beliau :

"Sesuatu yang diadakan (baru) dan bertentangan dengan kitab suci al Quran, sunnah rasul, ijma' para ulama, atau atsar (para shahabat), maka itulah bid'ah dholalah dan ini dilarang. Sedangkan suatu kebaikan yang tidak bertentangan sedikitpun dengan al Quran, sunnah, ijma' atau atsar maka yang demikian itu adalah terpuji.(Dr. Muhammad Ibn Alwy al Maliki, Dzikriyat wa nasabat, 109).

Mungkin inilah yg dimaksud dengan pemahaman salafussholih, Lalu bagaimana dengan perkataan hadits pertama? (semua hal yg baru adalah sesat)?

Maka difahami, jika hadits pertama tidak ada lagi pembahasan hadits lain yang menerangkan tentang perkara baru (bid'ah) maka akan jatuh hukum mutlak, bahwa semua perkara baru adalah sesat, namun dengan adanya hadits kedua yang mengatakan "berpahala bagi yg merintis perkara baru yang baik" maka menjadi penjelasan hadits pertama, hadits pertama bersifat umum, dan hadits kedua bersifat husus. sebagaimana pemahaman imam An-Nawawi (pengarang Shohih Muslim Bisyarah Nawawi)

Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi) Berkata:

"Penjelasan mengenai hadits : "Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya", hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : "semua yg baru adalah Bid'ah, dan semua yg Bid'ah adalah sesat", sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid'ah yg tercela". (Syarh Annawawi 'ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Adakah Bid'ah adalah Hukum?

Telah disepakati bersama, dalam berbagai kitab dan jumhur ulama' bahwa hukum dalam islam itu ada 5 yaitu : Wajib, Sunnah, Haram, Makruh dan Mubah. Jadi segala sesuatu yang diluar hukum yang terdapat dalam hukum islam yang lima tersebut, maka itu adalah dikatakan hal yang baru (bid'ah). karna perkara tersebut belum pernah ada pada masa Rosulullah SAW, maka perkara tersebut harus ditimbang dalam kacamata hukum Syari'at yang lima di atas.

Menentukan Suatu amalan bid'ah atau bukan.

Terdapat banyak perselisihan dalam menentukan suatu amalan termasuk bid'ah atau bukan, jika kita lihat sepeninggalan Rosulullah SAW, maka akan kita dapatkan begitu banyak sekali amalan-amalan baru yang dilakukan umat islam, maka mari kita telusuri satu persatu dengan kaidah yg benar.

Pertama penentuan Amalan yang dianggap bid'ah. Amalan baru yang dianggap sutu bid'ah adalah amalan yang menyangkut ibada dan syariat, karna dalam hadits tersebut dikatakan "fi amrina" yaitu baru dalam urusan agama atau syari'at dan didukung oleh pendapat para ulama' diatas.

Kedua menentukan jenis ibadah atau urusan agama syariat atau bukan, merupakan kesepakatan bahwa semua perbuatan baik yang kita lakukan adalah bernilai ibadah selama tidak melanggar syari'at, misalanya makan minum, mandi, sholat, puasa dll. Maka merupakan kesepakatan bahwa amalan ibadah itu terbagi menjadi dua, yaitu Amalan ibadah mahdhoh adalah suatu ibadah yang terikat dengan rukun, syarat dan yang membatalkannya, seperti sholat puasa zakat dll yang telah ditetapkan dan terikat hukumnya deng sunnah atau haram. dan yang lainnya adalah ibadah ghoiru mahdhoh yaitu ibadah yang tidak terikat oleh syarat, rukun atau batalnya, seperti belajar, shodakoh, bekerja, berda'wah dll.

Jika ada yang tidak setuju bahwa semua kegiatan yang kita lakukan adalah ibadah, dan mengingkarinya, dan meminta untuk memisahkan antara ibadah dan urusan dunia, semisal sekolah adalah urusan dunia dan berdoa adalah urusan akhirat, maka sesungguhnya telah jatuh pada faham sekular yaitu yang memisahkan antara urusan agama dan dunia. Maka mohon maaf kita tidak akan berbeda dengan hal ini, bagi penulis semua perkara yg kita lakukan bernilai ibadah atau urusan agama.

Dari penjelasan di atas, keluar dua pemahaman tentang bid'ah didalam syari'at islam dalam menentukan objek amalan, yang diwakili oleh imam syafi'ie dan imam suyuti. Imam syafi'ie membagi bid'ah menjadi dua yaitu bid'ah hasanah(baik) dan bid'ah dholalah(sesat) dengan memasukkan objeknya semua ibadah baik mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh. Sementara imam suyuti menetapkan bid'ah itu hanya satu yaitu bid'ah yang dholalah atau sesat, dengan objek ibadah yang dinilai adalah ibadah mahdhoh semata yaitu yg terikat rukun syarat dan batalnya, atau ibadah yang muqoyyadh.

Contoh Amalan dan termasuk bid'ah atau bukan?

Maulid Nabi Dasar pelaksanaanya bersyukur atas kelahiran nabi (tidak bertentangan) dan mencintai rosulullah.

Sekolah Dasar pelaksanaanya perintah Allah dan Nabi untuk menuntut ilmu

Pertama apakah Maulid nabi/sekolah itu adalah amalan ibadah yang mahdoh atau ghoiru mahdoh? Jika Bukan (bukan bid'ah)

Adakah rukun dan syarat syah atau batalnya amalan tersebut? Jika Tidak ada (bukan bid'ah)

Adakah Maulid Nabi itu bertentangan dengan Syari'at? (Jika Iya maka bid'ah jika tidak bukan bid'ah)

Apa anggapan para pelaku Maulid nabi itu terhadapa amalan tersebut, apa alasannya? Segala sesuatu yang tidak ada hukumnya sebelumnya adalah boleh, dan segala ibadah mahdhoh asal dasarnya adalah terlarang. Ubudiyah (ibadah mahdhoh ataupun goiru mahdoh yang ditujukan ibadah kepada selain Allah adalah terlarang), Maka hukumnya mubah (boleh) menjadi sunnah bila terdapat sesuatu yg dianjurkan dalam syari'at, dan menjadi makruh bila ada yg dibenci, bahkan menjadi haram jika terdapat sesuatu yang bertentangan dengan syariat.

Jika maulid nabi bid'ah maka tidak ada alasan untuk mengatakan sekolah juga bid'ah. karna keduanya adalah sama2 bersandar pada perintah rasulullah dan syari'at, kemudian dikemas dengan methode baru, dengan sebutan baru yaitu ber-Maulid nabi dan bersekolah. Dan masih banyak lagi contoh2 lain, seperti Tahlilan, Ziarah, isro' mi'roj, peringatan kenegaraan dll. Perbuatan itu tergantung niatnya.

By : vendi
--
Your Best Regard
www.komarudin.co.cc

3 comments:

sandhi said...

Ternyata Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH


TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.


KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

 REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

 CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.

Pujakesula said...
This comment has been removed by the author.
Pujakesula said...

sumber lebih lengkapnya ini yoo mas..

http://sholawatan-harlen-geovanov.blogspot.com/2010/11/keputusan-muktamar-nahdlatul-ulama-nu.html

tapi lihat dlm kutipan kitabnya juga ada kalimat mustahabnya lhoo, atau disukai hukummnya. Kapan coba lihat..
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت