
Monday, May 26, 2008
Keprihatinanku kepada saudaraku.

Sunday, May 25, 2008
Jagalah Akidahmu....!
Dalam barakidah kepada Agama yang lurus yaitu islam sebagai pedoman dan panduan hirup kita, sudah menjadi amalan wajib dan syarat kesucian dalam berakidah adalah membersihkan diri dari segala keyakinan atau ajaran yang menyimpang. Hidup adalah pilihan, bahkan dalam pencarian aqidah dan golongan islam yang kita anut, kita dihadapkan dengan berbagai golongan yang keseluruhannya mengaku paling selamat, demikian kenyataan yang telah diprediksikan oleh rosulullah SAW bahwa islam akan terpecah mencadi 73 golongan dan hanya satu yang selamat yaitu ahli sunnah wal jamaa'ah, artinya kelompok atau suatu pemahaman yang nyata-nyata menentang terhadap sunnah (tidak lagi mengacu hadits rosul) sebagai landasan berfikir sudah barang tentu telah keluar dari golongan yang selamat sebagai mana hadits Rosul, tugas untuk memilih dari pemahaman yang mengaku ahli sunnah saja membutuhkan kejelian dan pengetahuan yang banyak, kok masih sempat melirik pemahaman yang nyata-nyata menentangnya.

Friday, May 23, 2008
Wacana Khilafah dan Ideologi Transnasional
Oleh: M Idrus Ramli*
Perbincangan tentang khilafah Islamiyah dewasa ini seakan tidak terlepas dari kaum pengusung ideologi transnasional. Karena meskipun khilafah Islamiyah merupakan persoalan mayoritas umat Islam – untuk tidak mengatakan umat Islam secara keseluruhan, persoalan khilafah dewasa ini menjadi perbincangan hangat dan polemik yang aktual di berbagai media, setelah diangkat secara internasional oleh kelompok yang mengusung ideologi transnasional – yang dalam hal ini adalah partai politik Hizbut Tahrir, sebagai wacana aktual dan memiliki ruangan pemikiran tersendiri dalam wacana mereka.
Dalam khazanah pemikiran Islam, persoalan khilafah atau imâmah (kepemimpinan) dikategorikan sebagai persoalan furû'iyyah (cabang) yang masuk dalam kajian ilmu fikih, terlepas dari pandangan kelompok Syiah yang menganggapnya sebagai persoalan ushûliyyah (ideologis). Namun walaupun termasuk persoalan furû'iyyah, khilafah memiliki ruangan yang spesifik dalam kajian ilmu kalam (teologis) yang menjadi kajian ushûliyyah. Hampir semua pakar ilmu kalam memberikan kajian yang spesifik tentang khilafah dalam kitab-kitab ilmu kalam yang mereka tulis, semisal Imam al-Haramain dalam al-Irsyâd, al-Ghazali dan al-Iqtishâd, al-Amudi dalam Ghâyat al-Marâm, al-'Adhud al-Iji dalam al-Mawâqif dan lain-lain.
Menurut hemat penulis, yang perlu diperhatikan dalam menyikapi persoalan khilafah yang kian hari selalu berupaya diaktualisasikan oleh kaum pengusung ideologi transnasional Hizbut Tahrir melalui majalah bulanan Al-Wa'ie dan mingguan Al-Islam yang menjadi corong pemikiran mereka, adalah hal-hal yang tersembunyi di belakang slogan khilafah Islamiyah itu sendiri. Memang harus dimaklumi, bahwa pada saat-saat kaum Muslimin dewasa ini dilanda keputus-asaan dan hilangnya rasa percaya diri setelah mengalami kekalahan dan kehancuran dalam bidang sosial, politik, ekonomi, militer, peradaban dan kebudayaan dalam pertarungan dahsyat menghadapi serangan dan hegemoni Barat (Amerika dan Eropa), sebagian kalangan mengembalikan kekalahan tersebut pada rapuhnya persatuan umat Islam yang tercabik-cabik dan tidak terlaksananya syariat Islam sebagai sistem negara dalam naungan khilafah Islamiyah. Berangkat dari alasan inilah, kaum pengusung ideologi transnasional Hizbut Tahrir, yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani, mengangkat wacana khilafah sebagai satu-satunya solusi untuk mengembalikan kejayaan umat Islam yang hilang dan kembali dalam persatuan di bawah naungan sistem khilafah yang menjanjikan terlaksananya ajaran Islam secara kaaffah.
Sekilas, alasan dan ajakan tersebut sangat rasional dan menjanjikan impian indah kaum Muslimin yang telah terkubur dalam kenangan manis sejarah masa lalu. Namun apabila kita melacak latar belakang Taqiyuddin an-Nabhani sendiri dan ideologi yang diusungnya, agaknya kita akan segera menelan ludah yang teramat pahit penuh dengan kekecewaan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini:
Pertama, latar belakang an-Nabhani sendiri yang diliputi dengan kabut hitam penuh misteri. Masa lalunya, ia termasuk pengikut aliran radikal Ikhwanul Muslimin Quthbizme didikan Sayid Quthub yang mengadopsi pandangan Khawarij dalam hal takfîr (pengkafiran) terhadap seluruh kaum Muslimin yang ada di muka bumi pada saat ini. An-Nabhani juga terlibat sebagai anggota partai sosialis kiri yang beraliran komunis Marxis. Akan tetapi karir politiknya yang tidak berhasil mengantarnya menuju puncak kesuksesan dalam partai komunis tersebut, mengantarnya pada inspirasi untuk mendirikan partai politik 'Islam' Hizbut Tahrir (HT) yang mengusung wacana khilafah dengan dia sendiri sebagai pimpinannya.
Kedua, latar belakang an-Nabhani yang terlibat dalam partai komunis marxis menyisakan satu pemikiran yang dia tuangkan ke dalam partai HT yang didirikannya. Dalam beberapa bagian karyanya as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (seperti hal. 43, 71 dan 91), secara vulgar an-Nabhani mengadopsi ideologi Mu'tazilah yang tidak mempercayai qadha' dan qadar Allah I. Rukun iman yang seharusnya ada enam, direduksinya menjadi lima. Apabila ideologi komunis tidak mempercayai adanya Tuhan apalagi qadha' dan qadar Tuhan, maka HT mempercayai Tuhan tetapi tidak mempercayai qadha' dan qadar yang menjadi salah satu sifat kesempurnaan Tuhan.
Ketiga, dalam karyanya as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (seperti hal. 70), an-Nabhani secara vulgar mengkritik mayoritas kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah sejak generasi salaf yang saleh. Menurutnya, kaum Muslimin telah gagal dalam mengatasi persoalan ideologis sehingga terjerumus dalam 'kesesatan'. Oleh karena itu, tidak heran apabila kita dapati sebagian petinggi HT dewasa ini menulis kritik terhadap ideologi kaum Muslimin dalam ilmu kalam. Tentu saja kritik mereka terhadap kaum Muslimin akan melahirkan perpecahan dan pada akhirnya keberadaan HT sendiri akan dianggap duri dalam daging yang menyakiti kaum Muslimin.
Keempat, masa lalu an-Nabhani yang pernah tidak lulus dalam studinya di Universitas al-Azhar karena hasil ujiannya yang buruk, sangat berpengaruh terhadap pemikiran HT. Tidak jarang an-Nabhani sendiri dan petinggi-petinggi HT yang lain mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial dan keluar dari al-Qur'an dan Hadis, seperti pandangan HT yang tidak mempercayai siksa kubur, fatwa bolehnya jabatan tangan dengan wanita ajnabiyyah, fatwa bolehnya qublat al-muwada'ah (ciuman selamat tinggal) dengan wanita ajnabiyyah sehabis pertemuan semisal acara-acara seminar, pelatihan dan lain-lain.
Dari beberapa pandangan HT yang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan Hadis di atas, kiranya kaum Muslimin perlu berpikir jernih dengan hati nurani yang paling dalam, hal-hal yang tersembunyi di belakang jargon khilafah dan tegaknya syariat Islam. Tentu kita akan menolak khilafah dan syariat Islam model HT yang akan menebarkan perpecahan, kebencian, kerapuhan akidah dan dekadensi moral atas nama khilafah dan agama. []
* Penulis adalah mantan Pemimpin Redaksi IJTIHAD periode 1418 H. Tulisan ini dimuat di Majalah Ijtihad Edisi 28. sumber dari sidogiri.com

Kudeta Demi Khilafah
Oleh: Ahmad Dairobi*
Memang sudah semestinya seorang Muslim punya keinginan agar umat Islam bersatu kembali di bawah satu pemimpin, seperti pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin juga Bani Umayah. Jika tidak, maka layak dipertanyakan komitmennya terhadap agama. Hal itu sebagai sebuah idealisme. Soal mungkinkah persatuan itu terwujud atau tidak, itu soal lain.
Barangkali semua Muslim sepakat bahwa pemerintahan ideal itu adalah pemerintahan khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga, khilafah banyak dianggap sebagai bentuk asli dari pemerintahan Islam, meskipun sebenarnya khilafah bukanlah sebuah bentuk, namun sebuah semangat.
Kalau kita mengikuti pendapat Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, jelas sekali bahwa khilafah itu bukanlah sebuah bentuk. Arti khilafah menurutnya adalah membawa masyarakat untuk mencapai kebaikan dunia-akhirat dengan mengikuti pola pikir Syariat. Definisi ini dibuat oleh Ibnu Khaldun untuk membedakan dengan al-mulk (kerajaan) yang berarti membawa masyarakat atas dasar kepentingan dan nafsu. Makna yang hampir sama disampaikan oleh Khudhari Bik dalam Itmâmul-Wafâ dan Abdul Wahhab an-Najjar dalam al-Khulafâ' ar-Râsyidûn.
Menurut beberapa Hadis, khilafah memang selesai pada tahun 40 Hijriah atau 30 tahun setelah Rasulullah r wafat. Namun, dalam Hadis lain, Rasulullah r masih menyebut para pemimpin setelah itu sebagai khalifah, semisal yang terdapat dalam Hadis tentang 12 khalifah yang diriwayatkan dari banyak jalur. Dengan demikian, maka yang dimaksud khilafah yang berakhir pada tahun 40 itu adalah khilafah yang ideal.
Secara umum, kamus politik internasional menyatakan bahwa khilafah berakhir pada tahun 1924 M, setelah runtuhnya Dinasti Utsmani di Turki. Kesimpulan ini didapat mungkin karena setelah Dinasti Utsmani tidak ada lagi negara Islam yang menyematkan label khilafah dalam pemerintahannya. Atau, mungkin karena Dinasti Utsmani merupakan negara Islam terakhir yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Atau, mungkin karena Dinasti Utsmani berdiri di Abad Pertengahan. Memang, hampir semua pemerintahan Islam yang muncul di Abad Pertengahan mengklaim dirinya sebagai "Khilafah".
Ibnu Khaldun memilih untuk tidak memastikan sampai abad berapa khilafah itu bertahan. Ketika melihat kecenderungan politik antar-masa, ia hanya membuat kesimpulan bahwa kadar kekentalan khilafah bisa dibagi tiga, yaitu khilafah murni, khilafah campuran, dan khilafah labelnya saja. Masa Khulafaur Rasyidin masih murni khilafah, karena pemerintahan betul-betul berdasarkan agama. Masa Umayah sampai masa-masa awal Abbasiyah, secara umum, landasan agama dalam khilafah sudah bercampur baur dengan politik kekuasaan yang dibangun di atas orientasi golongan dan kepentingan duniawi penguasa. Setelah itu, secara umum, khilafah sudah tinggal nama dan klaim, sedangkan esensinya sudah hilang sama sekali.
Maka, ketika kata "khilafah" diucapkan, cukup sulit bagi kita untuk menebak apa maksudnya. Sebab, persepsi orang tentang pengertian khilafah memang berbeda-beda.
Adapula yang cenderung memahami khilafah sebagai persatuan umat Islam di bawah satu pemimpin atau umat Islam hanya punya satu negara dan satu pemimpin. Mengikuti pengertian ini, maka khilafah secara umum berakhir pada masa Umayah. Setelah itu sudah bukan khilafah, karena Muslimin sudah terpecah ke dalam dua pemerintahan, lalu ke dalam beberapa negara.
*****
Apapun persepsi tentang khilafah, yang jelas semuanya merujuk pada masa Khulafaur Rasyidin. Hanya saja sudut pandangnya berbeda-beda.
Meski untuk kembali ke Khulafaur Rasyidin hampir mustahil, minimal kita wajib punya keinginan atau impian kembali ke
Kudeta Abbasiyah membuat Damaskus menjadi lautan darah. Rencana pemberontakan Sayidina Husain terhadap Yazid berakhir dengan tragedi
Karena pertimbangan risiko tinggi itu, ulama-ulama fikih nyaris menutup pintu untuk memberikan izin bagi terjadinya pemberontakan, kudeta dan semacamnya, meskipun penguasa yang hendak dihabisi adalah penguasa yang zalim.
Oleh karena itu, ulama-ulama fikih cenderung menyatakan sah terhadap pemerintahan-pemerintahan Muslimin yang tidak sesuai kriteria Syariat, baik yang tidak sesuai itu adalah kualitas pemimpinnya atau sistem pemerintahan yang dianutnya. Keputusan ini diambil karena realitas politik memang tidak memungkinkan untuk menerapkan semua kriteria secara utuh. Inilah yang disebut kondisi darurat. Dalam kondisi ini, berada di bawah pemimpin yang zalim masih lebih baik daripada tidak memiliki pemimpin sama sekali. Memiliki pemerintahan yang tidak ideal masih lebih baik daripada terjadinya pertumpahan darah yang tak ada ujungnya.
Kalau kondisi tidak ideal itu selalu disikapi dengan upaya kudeta dan pemberontakan, maka umat Islam akan mengalami nasib yang sama dengan Khawarij. Dari satu rezim ke rezim yang lain, Khawarij selalu menjadi opisisi ekstrem dan berada di
Melihat berbagai ilustrasi di atas, inti yang ingin penulis sampaikan di sini adalah bahwa kita wajib punya impian untuk memiliki pemerintahan sebagaimana masa Khulafaur Rasyidin. Jika memungkinkan dan tidak menyebabkan mudarat yang lebih besar, kita juga wajib berjuang untuk menegakkan dan menghidupkan kembali pemerintahan Khulafaur Rasyidin, baik dalam bagian-bagian tertentu atau (kalau bisa) secara utuh.
Namun demikian, pemerintahan kita saat ini tetaplah merupakan pemerintahan yang sah; undang-undang dan peraturannya yang tidak melanggar Syariat wajib kita patuhi. Dan, jika memungkinkan dan tidak menyebabkan mudarat yang lebih besar, kita juga harus memperjuangkan agar negara ini bisa menjadi lebih sesuai lagi dengan Syariat dan mengupayakan agar umat Islam bisa bersatu kembali di bawah satu pimpinan.
Sekali lagi, semua itu, kalau memungkinkan dan tidak menimbulkan mudarat yang lebih besar.[]
* Penulis adalah Kepala Badan Pers Pesantren Pondok Pesantren Sidogiri dan Mantan Pemimpin Redaksi IJTIHAD periode 1421 H. Tulisan ini dimuat di Majalah Ijtihad Edisi 28

Tuesday, May 20, 2008
Non muslim Kebakaran Jenggot
